100 Years of Saving Lives: Lessons Learned, Reflection, And Celebration

Sepenggal Kisah dari Negeri Gunung Api
100 Years of Saving Lives: Lessons Learned, Reflection, And Celebration
Oleh : Mardian Hardipto

Budi adalah seorang pemuda di sebuah kampung di satu kabupaten di Indonesia, penduduk asli di sana. Orang tua, kakek, dan semua leluhurnya tinggal di daerah itu sejak ratusan tahun yang lalu. Kampungnya adalah kampung yang tenang, didukung dengan anugerah kesuburan lahannya. Daerahnya menjadi penghasil pertanian dan perkebunan dari zaman dulu. Seperti salah satu bait lagu, di sana "tongkat kayu dan batu menjadi tanaman".


Di bangku sekolahlah, Budi mengetahui bahwa kesuburan tanah kelahirannya itu, karena lokasinya yang terletak di kaki gunung api. Kesuburan adalah berkah dari tanah gunung berapi. Tapi, sebetulnya, "api" yang disematkan pada kata "gunung", bagi masyarakat kampung Budi, hanyalah sejarah, karena sepanjang mereka tahu gunung api ini sudah lama tak lagi berapi. Tak ada catatan leluhur, kapan dan bagaimana terakhir gunung itu meletus. Saat ini bahkan gunung itu menjadi kawasan wisata, dengan daya tarik pemandangan dan jalur pendakian yang cukup menantang. Bilapun layak disebut gunung api, hanya karena ada satu kawasan di puncak yang oleh sebagian orang disebut kawah, tapi tak ada fenomena apapun yang Budi tahu sebagai kawah gunung api seperti yang ia dapatkan di sekolah.


Hingga suatu saat, Budi mendengar ramai pembicaraan warga tentang asap muncul dari gunung itu. Pertama ia dengar dari temannya para pemuda pemandu wisata yang kerap mengantar turis ke puncak gunung. Tapi bukannya menjadikan sepi pengunjung, kabar itu malah menarik semakin banyak wisatawan ke kampungnya, terutama para turis asing yang penasaran dengan fenomena baru di gunung api tersebut.


Karena itu, di satu hari Minggu pagi, Budi bersama beberapa teman menyengaja ke sana, dan di puncak ia melihat asap hijau kekuningan keluar dari permukaan tanah, di area yang disebut kawah, dengan bau menyengat. Budi melihat tiga orang pemuda sedang melakukan sesuatu di sana. Mereka berseragam, mungkin dari instansi pemerintah, sibuk memasang alat, kabel, dan mengambil gambar dan merekam video. Budi tak mengerti apa yang mereka lakukan, dan tak terlalu peduli dengan itu.


Sampai beberapa hari kemudian, Budi melihat kembali ketiga orang itu dalam satu acara di balai desa. Undangan mendadak, yang hadir membludak, bahkan hingga meluber ke halaman. Ketiga orang itu duduk di depan, bersama aparat kecamatan, desa, dan tetua adat kampungnya. Ternyata tiga orang ini memang dari instansi pemerintah, yang khusus menangani gunung api. Bergantian, ketiganya melakukan pemaparan kepada masyarakat tentang perkembangan aktivitas gunung api yang ada di kampung itu, memperlihatkan beberapa foto, video, tabel, diagram, dan uraian. Mereka menyampaikan ada peningkatan aktivitas gunung api itu, dan untuk alasan keselamatan, pemerintah merasa perlu membatasi area yang dapat dikunjungi di puncak sana.


Di barisan belakang, Budi memperhatikan beberapa orang tua kampung lebih sibuk membahas keyakinan mereka sendiri, dibanding menyimak paparan di depan. Menggunakan bahasa daerah, para orang tua itu ramai membicarakan bahwa tiga pemuda itu tak cukup tahu tentang gunung api mereka. Tiga orang itu masih sangat muda, nampak baru lulus sekolah, bagaimana mungkin baru beberapa hari datang ke kampung itu, ditambah beberapa alat terpasang, sudah dapat mengatakan ada bahaya baru di gunung api itu? Sementara masyarakat asli di sana, sudah ratusan tahun tinggal dan tumbuh dengan tenang.


Masyarakat bahkan mewarisi tanda-tanda tertentu yang diyakini secara turun menurun sebagai tanda bila gunung api itu akan meletus. Tanda-tanda itu sama sekali tidak terlihat sampai saat ini. Para orang tua itu lalu tertawa-tawa sendiri dan tak merasa perlu menyimak penjelasan yang ada.


Dalam kesempatan diskusi, para pemandu wisata juga mempertanyakan pengaruh pembatasan akses itu terhadap pekerjaan mereka. Lokasi kawah adalah destinasi favorit para turis, bila itu menjadi lokasi yang tidak dapat dikunjungi, walau sementara, para pemandu wisata memperkirakan tingkat kunjungan wisatawan akan turun, dan membayangkan pengaruhnya pada tingkat pendapatan mereka.

Pertemuan memanas, tapi hiruk pikuk itu seakan tenggelam, Budi berada di persimpangan pemikirannya sendiri. Yang dijelaskan saat itu tampaknya masuk akal, karena Budi bisa mengerti, tapi tanda-tanda yang diyakini sebagai tanda gunung akan meletus dalam budaya kampung itu, belum terlihat. Dan para tetua adat belum memberikan pendapat mereka.


Budi merasa harus mencari tahu lebih jauh, maka seusai pertemuan, Budi mendekat pada tiga orang di depan, berkenalan dan berdiskusi lebih jauh dengan mereka.


Ternyata ketiga orang itu berasal dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Data yang mereka miliki ternyata mencakup tulisan dan laporan ratusan tahun yang lalu tentang geologi dan gunung api di kampungnya, bukan hanya data beberapa hari saja. Budi bahkan baru kali itu mendengar sebutan profesi tiga pemuda di depannya : Pengamat Gunung Api.


****


Misi utama pemantauan gunung api sangat sederhana, namun mendasar: menyelamatkan jiwa dan harta masyarakat, dan Pengamat Gunung Api (PGA) adalah garda terdepan pemerintah dalam hal itu. Para PGA melakukan pengamatan terhadap gunung api secara menerus, 24/7, melalui metode visual maupun instrumen untuk merasakan denyut nadi dan kembang kempis aktivitas gunung api.


Pemantauan ini dilakukan di Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) yang hanya berjarak beberapa kilometer di sekitar gunung api masing-masing. Saat ini terdapat 74 PPGA memantau 69 gunung api aktif, dengan sekitar 200-an PGA di Indonesia. Mereka melakukan pengumpulan data aktivitas gunung api, memantau dinamikanya, dan dibantu para ahli, yang berjumlah kurang lebih 100 orang dan berpusat di kota Bandung dan Yogyakarta, menganalisis dan menyusun rekomendasi bagi masyarakat agar terhindar dari ancaman bahaya gunung api. Dalam peran keselamatan publik ini, PGA menjadi garda terdepan, karena langsung berhadapan dengan gunung api, juga berhadapan langsung dengan masyarakat di sekitar gunung api.


Budi, mungkin potret dari wajah kita: anggota masyarakat di sekitar gunungapi, tapi tak sepenuhnya memahami risiko tinggal di sekitar gunung api. Alasannya sederhana: mereka turun menurun mapan dalam kedamaian alam, mewarisi budaya tanpa histori tertulis tentang bencana gunung api lokal, atau hanya sekadar bermodalkan cerita lisan dalam dongeng adat yang terbatas. Budi mungkin sedikit tercerahkan dengan sekolah, tetapi mayoritas masyarakat kampungnya selama ratusan tahun hanya menikmati jejak kesuburan gunung api, dan tak pernah mengalami kejadian letusan gunung api yang sesungguhnya.


Mereka tak tahu peningkatan aktivitas gunung api kecuali dari dongeng adat melalui tanda-tanda yang kadangkala dikaitkan dengan legenda atau mitos, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan saat gunung api itu memang memperlihatkan tanda peningkatan aktivitas.
Cerita Budi dan masyarakat kampungnya, adalah tantangan nyata dalam pemantauan gunung api di Indonesia. Misi mulia untuk menjaga keselamatan jiwa dan harta masyarakat, tak hanya sekadar persoalan alat pemantauan yang memenuhi standar, data yang teruji, metode analisis yang handal, dan ketepatan rekomendasinya saja, melainkan juga banyak menyangkut hal teknis dan nonteknis lainnya. Contohnya, permasalahan komunikasi lintas budaya dengan para pemangku kepentingan, dengan masyarakat, atau koordinasi dengan pihak-pihak berwenang.


Juga permasalahan yang muncul saat misi penyelamatan ini seakan bertabrakan dengan peluang keuntungan ekonomi atau kepentingan masyarakat yang lebih luas. Belum lagi menghadapi masalah transportasi, akses, logistik, dan jalur komunikasi yang terbatas di lokasi saat krisis terjadi. Seringkali, berbagai tantangan itu harus diatasi dengan segera untuk keberhasilan penyelamatan.
Di sebagian daerah lain di Indonesia, kisahnya lebih beruntung: sosialisasi bahkan pelatihan menghadapi bencana sudah kerap dilakukan, bahkan ada yang mewarisi kearifan lokal yang sangat membantu misi penyelamatan jiwa dan harta.


Berbagai kisah di atas masih mungkin terjadi, walaupun sebetulnya instansi/lembaga pemantauan gunung api di bumi Indonesia, pada tahun 2020 ini genap berusia 100 tahun, lebih tua dari usia republik ini sendiri.


Pemantauan dan mitigasi gunung api oleh ahli secara sukarela dan perorangan tentu atau berskala regional (berbasis pemerintahan kerajaan/kesultanan), dilakukan jauh sebelum 100 tahun yang lalu, misal catatan letusan Tambora 1815 atau Krakatau 1883. Tapi berdiri dan hadirnya dinas resmi pada 1920 menjadi penting karena keberadaannya memungkinkan langkah dan rekomendasi resmi yang efektif, dari pemerintah, yang diberlakukan untuk keselamatan publik. Dalam konteks bernegara sekarang, instansi ini menjadi salah satu wujud kehadiran pemerintah dalam melaksanakan tugas melindungi segenap bangsa Indonesia.


Berapa banyak orang mengenal instansi yang dikhususkan melakukan pemantauan gunung api di Indonesia ini?
Dinas Penjagaan Gunung Api (Vulkaan Bewakings Dients) dibentuk pada 16 September 1920, di bawah Dients Van Het Mijnwezen, setelah letusan G. Kelud di Jawa Timur pada tahun 1919 yang menelan korban jiwa tercatat sekitar lima ribu jiwa. Dinas ini berkembang dengan pembangunan pos-pos gunung api di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa pada saat itu, dan mengalami beberapa kali perubahan lembaga, menjadi Volcanologische Onderzoek (VO) pada 1922, kemudian Volcanological Survey pada 1939. Pada tahun 1980/90-an, instansi ini dikenal oleh dunia internasional sebagai Volcanological Survey of Indonesia (VSI) walau nama resminya adalah Direktorat Vulkanologi, dan sejak 2006 hingga saat ini bernama Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sebuah unit eselon II di bawah Badan Geologi, Kementerian ESDM (karena ketidaktahuan dan berdasar kesamaan beberapa huruf dalam singkatannya, orang sering mengaitkan PVMBG dengan BMKG).


Dalam PVMBG, ada bagian khusus terkait pemantauan gunung api yaitu Bidang Mitigasi Gunung Api di Bandung dan BPPTKG di Yogyakarta. Di sinilah, para ahli gunung api dan PGA berkumpul.


Perjalanan PVMBG tak lepas dari perkembangan dinamika bangsa dan zaman: pergantian era pemerintahan, maju mundurnya kondisi ekonomi, modernisasi teknologi, pengaruh kerjasama luar negeri, dan beragamnya budaya daerah di nusantara, seluruhnya menjadi aspek yang berpengaruh pada terbentuknya karakter PVMBG saat ini. Salah satu faktor yang signifikan misalnya, perhatian mengenai kebencanaan di Indonesia saat ini semakin baik, dengan formalisasi penanganan kebencanaan : disahkannya UU Penanggulangan Bencana dan peraturan terkait lainnya, dibentuknya BNPB dan BPBD, bahkan koordinasi mitigasi bencana yang menjadi isu penting dalam perencanaan pembangunan.


Tentu banyak catatan sepanjang 100 tahun penanganan krisis gunung api di Indonesia, dan seluruhnya menggambarkan kerja keras dan upaya PVMBG melakukan mitigasi bencana gunung api. Para ahli gunung api dan PGA bekerja bersama bahu membahu dengan aparat pemerintah lain dan masyarakat untuk melakukan mitigasi bahkan penyelamatan maksimal yang dapat dilakukan. Beberapa upaya itu menyisakan catatan korban jiwa dan harta yang tak bisa dihindari, tapi beberapa melibatkan puncak-puncak prestasi berupa kisah sukses evakuasi massal yang menghindarkan korban dan kerugian yang lebih banyak. Perjalanan panjang ini, 100 tahun estafeta dari satu generasi ahli gunung api ke generasi selanjutnya, tentu mengandung banyak pelajaran yang berharga, layak menjadi refleksi, dan semestinya disyukuri dan dirayakan. Tiga kata kunci ini diperlukan sebagai titik tolak dan energi baru menyongsong tugas PVMBG di masa depan, khususnya untuk menjaga relevansi keberadaan pemantauan gunung api dengan tujuan nasional dan tuntutan perkembangan zaman.


Di tahun 2020 ini, mari bergabung bersama kami merayakan genap 100 tahun usia dinas pemantauan gunung api di Indonesia: 100 Years of Saving Lives: Lessons Learned, Reflection, And Celebration.


Ctt: logo adalah logo peringatan 100 tahun pemantauan gunung api di Indonesia, foto pemeriksaan Gunung Api Kie Besi (Makian) Minggu, 1 Maret 2020.



@Mardian Hardipto

Ikuti Berita Kami