On Saturday, July 6, 1918, an uprising took place in Yaroslavl during the Russian Civil War. At the same time, the United States Army Air Service established the 1st Bombardment Wing at Toul-Croix de Metz Airfield, France. On that very day, in Sulawesi—specifically in North Sulawesi—a baby boy was born who would later be honored as a national hero, Arie Frederik Lasut (1918–1949).
According to T.F. Viersen (Aardrijkskundig schoolboekje van de Minahasa ten dienste der Europeesche en Inlandsche scholen in dat gewest, 1903), Minahasa then consisted of between 330 and 340 villages. Before 1857, Minahasa was divided into three afdeling; between 1857 and 1899, into five afdeling; and since 1899, again into three. Each afdeling was subdivided into several districts. The Tondano afdeling itself was divided into seven districts: Tondano-Toelian, Tondano-Tolimambot, Kakas-Remboken, Tomohon-Sarongsong, Langowan, Pasan-Ratahan-Ponosakan, and Kakaskasen.
Lake Tondano around 1910/Danau
Tondano sekitar tahun 1910. Source/Sumber: KITLV 1405783 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)
In Mardanas Safwan’s book Arie Frederik Lasut (1981:14), it is stated that Tondano City was the capital of Minahasa Regency, considered one of the surplus regions of Indonesia with cloves and copra as its main products. Most of the Minahasan population embraced Christianity, including the devout family of Arie Frederik Lasut.
This description corresponds with the Atlas der Protestantsche Kerk in Nederlandsch Oost-Indie (1925), which notes that Tondano City lay 670 meters above sea level, by Lake Tondano, surrounded by vast rice fields and partially encircled by the Lembean, Makabembeng, and Masarang mountains and their subranges. The city had about 15,000 inhabitants, with an orderly layout integrated with the negorij of Tonsea-lama, Wulauan, and Kampung Djawa, which together had a population of 1,200. Tondano was also home to various educational facilities, including MULO, an agricultural school, a normal course, HIS, as well as government and Protestant association schools. The Protestant congregation possessed the largest and most beautiful church in Minahasa.
As written by Mardanas Safwan (1981:14), Arie was the second child of Darius Lasut and Ingkan Supit. Darius, originally from Tuankuramber Village in Tondano, was at that time working as a teacher at a HIS (Hollandsch Inlandsch School), a Dutch-language elementary school for natives. Before Arie’s birth, the couple already had a daughter named Anie Lasut. After Arie’s arrival, they were blessed with six more children: Nelly, Welly, Piet, Netty, Lely, and Mieke Lasut.
According to Mardanas Safwan (1981:14), the Lasut family belonged to the well-to-do class at the time. This was due to Darius’s decent income as a teacher, complemented by his clove plantation in his hometown, which further strengthened the family’s economy. Consequently, it was natural that Darius was able to provide education for nearly all his children
Biografi Arie Frederik Lasut (1):
Kelahiran Kapataran
Sabtu, 6 Juli 1918 terjadi pemberontakan di Yaroslavl dalam Perang Saudara Rusia. Di saat yang bersamaan, Dinas Udara Angkatan Darat Amerika Serikat membentuk Sayap Pengeboman ke-1 di Lapangan Udara Toul-Croix de Metz, Prancis. Di saat itu pula di tanah Sulawesi tepatnya di Sulawesi Utara, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak dinobatkan menjadi pahlawan nasional, Arie Frederik Lasut (1918-1949).
Bayi laki-laki tersebut dilahirkan di Desa Kapataran, Kecamatan Lembean Timur, Kabupaten Minahasa. Di masa kelahiran Arie Frederik Lasut, Kapataran sebagaimana dicatat oleh Ch.F.H. Dumont (Aardrijkskundig woordenboek van Nederlandsch Oost-Indie, 1917) disebut sebagai “plaats” atau “negorij” yang termasuk ke Distrik Tondano, landschap Tondano, Keresidenan Manado.
Menurut T.F. Viersen (Aardrijkskundig schoolboekje van de Minahasa ten dienste der Europeesche en Inlandsche scholen in dat gewest, 1903), kita dapat mengetahui di Minahasa saat itu terdapat antara 330 hingga 340 tempat perkampungan. Sebelum tahun 1857, Minahasa dibagi menjadi tiga afdeling; kemudian tahun 1857 sampai 1899 menjadi lima afdeling; dan sejak 1899 kembali menjadi tiga afdeling. Setiap afdeling dibagi lagi menjadi beberapa distrik. Adapun Afdeling Tondano terbagi menjadi tujuh distrik, yaitu Distrik Tondano-Toelian, Distrik Tondano-Tolimambot, Distrik Kakas-Remboken, Distrik Tomohon-Sarongsong, Distrik Langowan, Distrik Pasan-Ratahan-Ponosakan, dan Distrik Kakaskasen.
Pasar di Tondano sekitar tahun 1915/Market in Tondano circa 1915. Sumber: KITLV 43140 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Di dalam buku Arie Frederik Lasut (1981: 14) karya Mardanas Safwan dikatakan Kota Tondano adalah ibu kota dari Kabupaten Minahasa yang merupakan daerah surplus di Indonesia dengan hasil utamanya cengkeh dan kopra. Penduduk daerah Minahasa sebagian besar memeluk agama Kristen termasuk keluarga Arie Frederik Lasut yang taat melaksanakan ajaran agama.
Deskripsi yang disampaikan oleh Mardanas Safwan senada dengan yang dituliskan di dalam Atlas der Protestantsche Kerk in Nederlandsch Oost-Indie (1925) bahwa Kota Tondano terletak 670 meter di atas permukaan laut, di tepi Danau Tondano, di tengah sawah luas yang sebagian dikelilingi oleh Pegunungan Lembean, Makabembeng, Masarang, dan anak-anak pegunungannya. Kota ini berpenduduk sekitar 15.000 jiwa. Tata kota rapi dan menyatu dengan negorij Tonsea-lama, Wulauan, dan Kampung Djawa yang berpenduduk 1.200 jiwa. Selanjutnya dikatakan di Tondano terdapat berbagai fasilitas pendidikan, antara lain MULO, sekolah pertanian, kursus normal, HIS, serta sekolah pemerintah dan sekolah perhimpunan Prostestan. Jemaat Protestan memiliki gereja terbesar dan terindah di Minahasa.
Sebagaimana yang ditulis Mardanas Safwan (1918: 14), Arie adalah anak kedua pasangan Darius Lasut dan lngkan Supit. Darius Lasut yang berasal dari Desa Tuankuramber di Tondano. Saat itu ia bekerja sebagai guru HIS (Hollandsch Inlandsch School), sekolah dasar berbahasa Belanda untuk kalangan bumiputra, di daerah Tondano. Sebelum pasangan Darius dan Ingkan dikaruniai Arie, keluarga tersebut telah memiliki seorang anak perempuan bernama Anie Lasut. Kemudian setelah A.F Lasut dilahirkan, Darius dan Ingkan dikaruniai enam orang anak lagi, yaitu Nelly Lasut, Welly Lasut, Piet Lasut, Netty Lasut, Lely Lasut, dan Mieke Lasut.
Menurut Mardanas Safwan (1981:14), keluarga Lasut pada masa itu tergolong berada. Hal tersebut disebabkan karena Darius Lasut memperoleh penghasilan yang memadai dari profesinya sebagai guru. Selain itu, ia juga memiliki kebun cengkeh di kampungnya, yang turut memperkuat kondisi ekonomi keluarganya. Oleh karena itu, wajar apabila Darius Lasut mampu membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga hampir seluruh putra-putrinya dapat mengenyam bangku sekolah. (Atep Kurnia, Humas PSDMBP, Badan Geologi)