Biography of Arie Frederik Lasut (3): Once Studied at Teacher Training Schools

After graduating from HIS Tondano as the top student in 1931, Arie Frederik Lasut advanced to secondary education. His parents, both of whom were teachers, hoped that Arie would follow in their footsteps. Although becoming an educator was not his initial aspiration, Arie complied with his father’s wishes. At the age of 13, he left home and sailed to Ambon to pursue his studies at the Kweekschool (teacher training school) (Mardanas Safwan, Arie Frederik Lasut, 1981: 17).

According to Het Inlandsch Onderwijs in de Residentie Ambon (in Java-bode, November 5, 1870), the Nederlandsch Zendeling Genootschap (Dutch Missionary Society) established a Kweekschool in Ambon in 1834 to train indigenous teachers. The school lasted for 30 years before it was closed in 1864. A decade later, the colonial government established another teacher training school in Ambon (De Locomotief, December 7, 1874). It was this later institution that Arie Frederik Lasut entered in 1931.

Arie’s journey from Manado to Ambon marked the beginning of his independent life. According to Safwan (1981: 17–18), at the harbor he met K.H.E. Sompie, who would later become his close friend. Their friendship, which began during the sea voyage, continued throughout their boarding school years in Ambon.

At Kweekschool Ambon, Arie stood out as a student. His intelligence allowed him to quickly grasp lessons, particularly in drawing and mathematics. Beyond that, he surpassed even Dutch students, including in mastery of the Dutch language. Arie’s self-confidence ensured that he never felt inferior to European children. His life in the dormitory also honed his social skills. He was active in playing football, excelling as a nimble forward despite his small stature (Safwan, 1981: 18–19).

Kweekschool Ambon circa 1925/Kweekschool Ambon sekitar tahun 1925. Source/Sumber: KITLV 10538 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Arie Frederik Lasut’s artistic talents also flourished. He taught himself to play the piano and violin as a way to soothe his homesickness. While he respected his teachers, seeds of resentment against Dutch colonialism grew within him. These sentiments were further strengthened by Lodewijk Lumanouw, a young activist who instilled nationalist ideals among students in Ambon (Safwan, 1981: 19–20).

A major event that helped strengthen Arie's awareness was when the rebellion of the Seven Provinces Ship (Zeven Provinciën) broke out in 1933. For Arie, this resistance signaled the awakening against colonial oppression. In daily life, he strongly rejected discrimination. When other students looked down on Papuan children, Arie invited them to play football as an act of solidarity (Safwan, 1981: 20–21).

In 1933, Arie Frederik Lasut completed his studies in Ambon. Since the Kweekschool was only equivalent to an assistant teacher’s school, he and other selected students—including K.H.E. Sompie, Jusuf Tule, and I.M. Doko—were sent to the Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) in Bandung. HIK Bandung was a development of the Kweekschool Bandung, which had opened on May 23, 1866 (Verslag van de plegtige opening van de Kweekschool voor inlandsche onderwijzers te Bandong, op den 23sten Mei 1866, 1867). According to R. Poeradiredja (in Gedenkboek H.I.K. Bandoeng, 1866–1941, 1941), HIK Bandung was established in 1930 as the result of a merger between the Kweekschool and Hoogere Kweekschool.

According to Safwan (1981: 22–23), Bandung during Arie Frederik Lasut’s time at HIK was an important hub of the nationalist movement. Although the Indonesian National Party (PNI), founded by Sukarno in 1927, had been dissolved by the colonial government, other nationalist organizations continued to thrive. The vibrant political atmosphere and the city’s multiethnic environment broadened Arie’s horizons. In Bandung, he remained active in sports, engaging in athletics such as javelin throw and pole vault, while also spending time on handicrafts and compiling songbooks. Eventually, however, he realized that teaching was not his true calling. Consequently, he decided to leave HIK Bandung.

In 1934, Arie transferred to the Algemeene Middelbare School (AMS), Section B (science and mathematics), in Jakarta. This new phase brought great difficulties. No longer living in a dormitory, he had to bear his own living expenses during the global economic depression, while his father struggled to support nine children. Nonetheless, these hardships did not break his spirit. Arie often stayed with friends and even studied under street lamps when his boarding house was dark. Through perseverance and resilience, he finally completed his education at AMS in 1937 (Safwan, 1981: 24–25) (Atep Kurnia, Public Relations Officer of CMCGR, Geological Agency).

 

Biografi Arie Frederik Lasut (3):

Jejak Pendidikan A.F. Lasut di Sekolah Calon Guru

Setelah menamatkan HIS Tondano dengan predikat juara pertama tahun 1931, Arie Frederik Lasut melangkah ke jenjang pendidikan menengah. Orang tuanya, yang berprofesi sebagai guru, berharap Arie akan mengikuti jejaknya. Arie menuruti kehendak ayahnya meskipun semula ia tidak bercita-cita menjadi tenaga pendidik. Pada usia 13 tahun, Arie meninggalkan rumah dan berlayar jauh menuju Ambon untuk menempuh pendidikan di Kweekschool (sekolah calon guru) (Mardanas Safwan, Arie Frederik Lasut, 1981: 17).

Berdasarkan “Het Inlandsch Onderwijs in de Residentie Ambon” (dalam Java-bode, 5 November 1870), diketahui bahwa pada 1834 Nederlandsch Zendeling Genootschap atau Serikat Misionaris Belanda mendirikan Kweekschool di Ambon untuk mendidik calon guru bumiputra. Sekolah tersebut bertahan selama 30 tahun dan ditutup pada 1864. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial baru mendirikan lagi sekolah guru di Ambon (De Locomotief, 7 Desember 1874). Sekolah yang terakhir inilah yang dimasuki oleh Arie Frederik Lasut pada tahun 1931.

Perjalanan Arie dari Manado ke Ambon merupakan awal kehidupan mandiri baginya. Menurut Safwan (1981: 17-18), di pelabuhan ia berkenalan dengan K.H.E. Sompie, yang kelak menjadi sahabat karibnya. Persahabatan yang terjalin sejak perjalanan laut itu terus berlanjut hingga masa asrama di Ambon.

Di Kweekschool Ambon, Arie termasuk siswa yang menonjol. Kecerdasannya membuatnya cepat menangkap pelajaran, terutama menggambar dan ilmu pasti. Lebih dari itu, ia mampu melampaui kemampuan murid-murid bangsa Belanda, bahkan dalam penguasaan bahasa Belanda. Rasa percaya diri Arie tidak pernah membuatnya merasa rendah diri di hadapan anak-anak Eropa. Kehidupannya di asrama turut mengasah sisi sosialnya. Ia aktif bermain sepak bola, sebagai penyerang lincah meski bertubuh kecil (Safwan, 1981: 18-19).

Bakat seni Arie Frederik Lasut juga berkembang. Ia mampu belajar memainkan piano dan biola secara otodidak sebagai pelipur lara saat dirundung rindu kampung halaman. Meskipun Arie menghormati guru-gurunya, benih kebencian terhadap Belanda sebagai penjajah tumbuh subur dalam dirinya. Benih tersebut kian diperkuat oleh Lodewijk Lumanouw, aktivis muda yang menanamkan semangat kebangsaan kepada murid-murid di Ambon (Safwan, 1981: 19-20).

Peristiwa besar yang turut menguatkan kesadaran Arie adalah ketika pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provinciën) meletus pada 1933. Bagi Arie, perlawanan itu menjadi pertanda kebangkitan melawan penjajahan. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap Arie memang sangat menolak diskriminasi. Saat murid lain meremehkan anak-anak Papua, Arie justru mengajak mereka bermain sepak bola, sebagai wujud dari solidaritas (Safwan, 1981: 20-21).

Pada tahun 1933, Arie Frederik Lasut menyelesaikan pendidikannya di Ambon. Karena Kweekschool hanya setara dengan sekolah guru bantu, ia bersama murid pilihan lainnya, termasuk K.H.E. Sompie, Jusuf Tule dan I.M. Doko, dikirim ke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) Bandung. HIK Bandung adalah perkembangan dari Kweekschool Bandung yang mulai dibuka pada 23 Mei 1866 (Verslag van de plegtige opening van de Kweekschool voor inlandsche onderwijzers te Bandong, op den 23sten Mei 1866, 1867). Menurut R. Poeradiredja (dalam Gedenkboek H.I.K. Bandoeng, 1866-1941, 1941), HIK Bandung dibentuk pada tahun 1930 sebagai hasil penggabungan dari Kweekschool dan Hoogere Kweekschool.


Seorang murid Kweekschool Bandung mulai berlari setelah bunyi start pada pertandingan atletik di Bandung tahun 1924. Sumber: KITLV 78075 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menurut Safwan (1981: 22-23), Kota Bandung di masa Arie Frederik Lasut bersekolah di HIK merupakan pusat penting pergerakan nasional. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno pada 1927 saat itu telah beberapa lama dibubarkan oleh pemerintah kolonial, tetapi organisasi pergerakan nasional lain terus tumbuh. Oleh karena itu, suasana politik yang bergelora serta pergaulan multietnis di Bandung memperluas wawasan Arie. Di Bandung Arie tetap giat berolahraga, dengan menekuni atletik seperti lempar lembing dan loncat galah, serta mengisi waktu dengan membuat kerajinan tangan dan menyusun buku lagu. Tetapi pada akhirnya, ia merasa profesi guru tidak sesuai dengan panggilan hatinya. Oleh karena itulah, ia memutuskan keluar dari HIK Bandung.

Tahun 1934, Arie pindah ke Algemeene Middelbare School (AMS) bagian B (ilmu pasti dan ilmu alam) di Jakarta. Kehidupan baru ini membawa kesulitan besar. Karena tidak lagi tinggal di asrama, ia harus menanggung biaya hidup sendiri pada masa depresi ekonomi global, sementara ayahnya kesulitan membiayai sembilan anak. Namun, kesulitan itu tidak mematahkan semangatnya. Arie kerap menumpang di rumah temannya, bahkan belajar di bawah lampu jalan ketika rumah indekosnya gelap. Dengan kerja keras dan ketabahan, ia akhirnya menyelesaikan pendidikannya di AMS pada 1937 (Safwan, 1981: 24-25). (Atep Kurnia, Humas PSDMBP, Badan Geologi).

Ikuti Berita Kami