Eksplorasi hidrogen alami bukan perkara mudah. Gas ini sulit
dideteksi dan hanya muncul di lokasi dengan kondisi geologi khusus. Padahal,
hidrogen (H₂) bisa terbentuk secara alami di bumi melalui berbagai proses,
seperti serpentinisasi, dekomposisi metana, maupun pelapukan biomassa. Seiring
meningkatnya kebutuhan energi bersih, hidrogen alami mulai dipandang sebagai
salah satu sumber energi masa depan yang murah, ramah lingkungan, dan
berkelanjutan.
Dalam studi ini, kami mencoba menawarkan cara baru dalam mencari
hidrogen alami: dengan “membaca” bentuk permukaan bumi—atau dalam istilah
ilmiahnya disebut geomorfologi tektonik. Studi dilakukan di kawasan Tanjung
Api, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Daerah ini sudah lama dikenal
karena memiliki “api abadi” yang konon telah diketahui sejak masa kolonial
Belanda.
Geomorfologi tektonik merupakan cabang ilmu geomorfologi yang
mempelajari bentuk permukaan bumi melalui perhitungan morfometri kuantitatif.
Dalam penelitian ini, tiga parameter digunakan untuk menganalisis bentang alam:
(1) kelurusan muka gunung (mountain front sinuosity), (2) kerapatan
aliran sungai (drainage density), dan (3) indeks bentuk daerah aliran
sungai (basin shape index). Ketiga parameter ini dapat memberi petunjuk
mengenai tingkat aktivitas tektonik. Misalnya, lereng gunung yang lurus dan
curam biasanya terbentuk akibat pengangkatan oleh patahan aktif, sementara pola
aliran sungai yang rapat sering dijumpai di wilayah yang sedang “bergerak”
secara tektonik.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Tanjung Api
tergolong memiliki aktivitas tektonik tinggi hingga sangat tinggi. Menariknya,
dua lokasi semburan gas—yaitu di pantai Tanjung Api dan mata air panas
Pulodalagan—terletak di area yang secara geomorfologis aktif. Fakta ini
memperkuat dugaan bahwa gas hidrogen alami tersebut muncul karena adanya
patahan aktif di bawah permukaan.
Survei lapangan memperlihatkan bahwa daerah penelitian didominasi
batuan ultramafik dan sedimen. Batuan ultramafik inilah yang menjadi “dapur”
alami penghasil hidrogen. Melalui proses serpentinisasi, air yang masuk lewat
rekahan atau patahan bereaksi dengan mineral di batuan ultramafik dan
menghasilkan gas hidrogen. Proses ini makin intens jika terdapat jalur terbuka
seperti patahan, yang memberi ruang bagi air dan gas untuk bergerak lebih
leluasa.
Gas hidrogen hasil serpentinisasi ini kemudian muncul ke permukaan
sebagai semburan. Di Tanjung Api, debit gas yang keluar cukup besar, yakni
sekitar 1000–1400 m³ per hari dengan kadar hidrogen lebih dari 1000 ppm.
Sementara itu, di Pulodalagan, kandungan hidrogen lebih rendah, tetapi tetap
signifikan, berkisar 144–197 ppm.
Temuan ini membuktikan bahwa patahan aktif tidak hanya membentuk
bentang alam, tetapi juga berfungsi sebagai jalur alami migrasi gas dari dalam
bumi menuju permukaan. Karena itu, analisis geomorfologi tektonik bisa menjadi
alat bantu yang efektif untuk memetakan wilayah prospektif dalam eksplorasi
hidrogen alami—sebuah energi bersih yang menjanjikan untuk masa depan. Studi
semacam ini juga sejalan dengan tugas Pusat Survei Geologi (PSG) dalam
melakukan survei dan pemetaan potensi geologi nasional, sekaligus mendukung
indikator kinerja Badan Geologi terkait data dan sistem informasi hidrogen
terpadu.
Kajian detil mengenai hal ini telah diterbitkan dalam bentuk karya tulis ilmiah yang dapat diunduh pada link berikut (https://jrisetgeotam.brin.go.id/index.php/jrisgeotam/article/view/1357/pdf_1)
Penulis : Muhammad Luthfi Faturrakhman
Penyunting : Tim Scientific Board
- PSG