Mengenal Fosil Hewan Laut Penguasa Laut Purba Pulau Timor

“Sejarah bukan sekedar lembaran catatan usang peristiwa lalu, dari sejarah kita dapat belajar tentang proses perubahan kehidupan dari masa lalu hingga sekarang, dan memahami makna dibalik peristiwa”. Kalimat pembuka yang dilontarkan oleh Selena salah satu pemandu Museum Geologi di Hall Museum Geologi, cukup menggugah rasa penasaran para pengunjung untuk melihat koleksi-koleksi Museum Geologi, yang dipamerkan di Ruang Sejarah Kehidupan.

Gambar 1. Salah satu sudut Ruang Sejarah Kehidupan yang memamerkan berbagai koleksi fosil dari berbagai zaman kehidupan. 

Ruang sejarah kehidupan, salah satu ruang pamer Museum Geologi yang terletak di sayap Timur lantai satu memamerkan berbagai koleksi fosil bukti jejak-jejak kehidupan dari berbagai “Skala Waktu Geologi”. Disebut “Skala Waktu”, karena istilah ini merujuk pada sistem yang digunakan untuk menggambarkan dan mengelompakkan waktu berdasarkan peristiwa-peristiwa geologi dalam suatu rentang waktu tertentu, berdasarkan bukti-bukti paleontologis atau bukti fosil. Skala Waktu Geologi dibagi menjadi beberapa bagian dari skala waktu terbesar hingga terkecil, yaitu Kurun (Eon) yang merupakan satuan terbesar dalam skala  waktu, Masa (Era), Zaman (Period), Kala (Epoch), dan Umur (Age) yang merupakan satuan terkecil dan dinyatakan dalam perkiraan angka relatif.                          

Gambar 2. Skala Waktu Geologi yang dibagi menjadi Kurun, Masa, Zaman, Kala, dan Umur. Pembacaan dari bawah ke atas menunjukkan periode umur dari tua ke muda (Sumber : ekodivo.wordpress)

Ruang sejarah kehidupan dibagi menjadi beberapa korner berdasarkan Skala Waktu Geologi, dari rentang waktu tertua hingga termuda. Menariknya, Pada korner Masa Paleozoikum dan Mesozoikum terdapat koleksi-koleksi fosil hewan laut berumur ratusan hingga puluhan juta tahun lalu yang pernah hidup mendominasi lautan purba di Pulau Timor – Indonesia, bahkan beberapa jenis fosil tersebut hidup sejaman dengan Dinosaurus. Koleksi-koleksi tersebut diantaranya fosil Amonit, Belemnit, dan Crinoid. 

Amonit
Amonit merupakan kelompok hewan laut bertubuh lunak yang telah punah dari kelas cephalopoda (mencakup : cumi, gurita, dan sotong). Nama Amonit terinspirasi dari nama dewa Yunani Amon yang tanduknya menyerupai liukan Amonit. Sekilas, bentuknya menyerupai cumi-cumi karena sama-sama memiliki tentakel yang berfungsi untuk berburu mangsa, tetapi amonit memiliki cangkang berbentuk spiral dan berfungsi sebagai pelindung dan alat untuk mengapung, sedangkan cumi-cumi tidak mempunyai cangkang. Amonit dapat hidup di berbagai kedalaman laut dan fosilnya banyak ditemukan di banyak lokasi, diantaranya di wilayah Indonesia Timur yaitu Papua dan Pulau Timor. Amonit yang dijumpai di Pulau Timor bagian barat, merupakan yang terbanyak jenis spesiesnya di dunia (37 spesies) dengan genus terbanyak Agathiceras dan Paralegoceras. Spesies amonit yang beragam diklasifikasikan berdasarkan bentuk cangkangnya.   

Gambar 3. Salah satu koleksi Museum Geologi di ruang pamer sejarah kehidupan, berupa fosil amonit pada batugamping, yang berasal dari Daerah Amarasi Kabupaten Kupang, NTT.

Amonit diperkirakan hidup pada periode Devon Awal hingga Kapur Akhir atau sekitar 400 juta – 65 juta tahun yang lalu. Rentang hidup yang panjang dengan  berbagai perubahan lingkungan hidup menyebabkan amonit memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari bentuk dan ukuran cangkang amonit yang beragam. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan oleh peristiwa kepunahan massal, dimana sejak bumi terbentuk dikenal telah terjadi 5 periode kepunahan massal dari Zaman Ordovisum hingga Kapur. Amonit punah sekitar 65 juta tahun yang lalu bersamaan dengan dinosaurus dalam peristiwa kepunahan massal yang dikenal sebagai peristiwa Kapur-Paleogen. Penyebab kepunahannya masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, tetapi beberapa teori yang cukup terkenal diantaranya disebabkan oleh tumbukan asteroid berukuran besar yang menghantam bumi yang menyebabkan perubahan iklim dan gangguan ekosistem global. Teori kedua disebabkan oleh aktivitas vulkanik besar, yaitu letusan gunung berapi  di daerah Deccan Traps di India, yang menghasilkan lava dalam jumlah besar dan emisi gas beracun ke atmosfer, sehingga menyebabkan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. 

Belemnit
“Belemnite (belemnit)” berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “belemnon” yang berarti anak panah atau lembing, yang mencerminkan bentuk runcing dari fosil belemnit yang umum dijumpai pada batuan sedimen. Belemnit merupakan kelompok moluska yang berkerabat dengan cumi-cumi dan sotong modern, yang hidup pada periode Trias Akhir (234 juta tahun lalu) hingga Kapur Akhir, dan punah sekitar 65 juta tahun lalu bersamaan dengan punahnya amonit dan dinosaurus.  Meskipun memiliki struktur tubuh yang menyerupai cumi-cumi, tetapi terdapat perbedaan yang signifikan dimana belemnit memiliki kerangka (skeleton) internal yang keras yang mempunyai bentuk menyerupai peluru dan disebut “rostrum”, dan bagian inilah yang kerap dijumpai sebagai fosil. Rostrum berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan daya apung belemnit selama berenang. Rostrum tersusun atas kristal kalsit berserat, dan dapat mengindikasikan cincin pertumbuhan seperti yang kerap dijumpai pada pohon, yaitu menunjukkan umur belemnit. Fosil belemnit ditemukan di berbagai lokasi di Indonesia, khususnya pada batuan sedimen Mesozoikum diantaranya di Pulau Timor, Maluku, Kepulauan Misool – Papua, dan Sawahlunto – Sumatera Barat.       

Gambar 4. Kenampakan fosil belemnit dengan bentuk runcing menyerupai peluru, yang ditemukan pada batugamping di Daerah Amarasi Kabupaten Kupang, NTT. 

Crinoid
Fosil crinoid merupakan kelompok fosil hewan laut dari filum echinodermata, kelas crinoidea (lili laut) yang biasa hidup di laut hingga kedalaman 6000 meter. “Crinoid” berasal dari bahasa Yunani “krinon” yang artinya lili. Crinoid pertama kali muncul di lautan pada pertengahan Kambrium, yaitu sekitar 300 juta tahun sebelum kemunculan dinosaurus. Hewan ini berkembang di era Palaeozoikum dan Mesozoikum, dan beberapa spesies masih hidup hingga sekarang. Crinoid melimpah pada awal Karbon, sehingga Zaman Karbon disebut juga The Age of Crinoid.  Meskipun kenampakan lili laut yang masih hidup pada era sekarang berbeda dengan fosilnya, tetapi dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana fosil crinoid hidup. Fosil Crinoid memiliki dua bagian tubuh yang utama, yaitu: “Calyx” adalah bagian tubuh berbentuk mangkuk kecil yang berfungsi sebagai tempat masuknya makanan dan organ pencernaan, dan “Stem (arms)” merupakan bagian tubuh menyerupai batang yang terdiri dari lempengan-lempengan menyerupai cakram (kolumnar) yang ditumpuk satu sama lain, yang berfungsi menangkap makanan. Pada saat menjadi fosil, bagian-bagian tubuh seperti calyx dan stem dapat terawetkan dengan baik dalam batuan sedimen. Di Indonesia, keberadaan fosil Crinoid hanya dapat di jumpai di Pulau Timor, Pulau Seram Timur, Kalimantan Barat, Pulau Rote, dan Papua. Di Pulau Timor sendiri setidaknya didapatkan 239 spesies dari 75 genus, dimana 2/3 dari spesiesnya tidak ditemukan di tempat lain. Fosil tersebut berumur Perm Awal – Perm Akhir (272 - 251 juta tahun yang lalu).  

Gambar 5. Batugamping yang mengandung fosil Crinoid, salah satu koleksi Museum Geologi yang berasal dari Amarasi Kabupaten Kupang, NTT, bentuk fosilnya yang sekilas menyerupai baut berkarat merupakan bagian dari “stem” yang terawetkan. 

Bagaimana sahabat museum geologi, menarik bukan koleksi-koleksi fosil hewan laut berumur ratusan hingga puluhan juta tahun yang lalu yang dipamerkan di Ruang Sejarah kehidupan ? Koleksi tersebut bukan hanya sekedar benda mati, tapi mereka menyimpan informasi berharga tentang kehidupan laut purba dan kondisi lingkungan selama mereka hidup di Bumi. 


Penulis: Agustina Djafar, S.T. dan Rahajeng Ayu Permana Sari, S.T., M.T.

Ikuti Berita Kami