The 1866 Sulfur Survey in Priangan

Back in the middle of 1866, two mining experts from the Dutch East Indies Mining Department set off on a mission to explore the Priangan Residency in West Java. Their names were R. Everwijn, the chief engineer and head of the mining department, and Dr. C.L. van Vlaanderen, a mineralogist and head of the mining chemistry laboratory.

As mentioned in P.A.C. de Ruiter’s dissertation Het Mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850-1950 (2016), Everwijn had worked in the colony’s mining office since 1853, and van Vlaanderen had been there since 1859. Together, they spent nearly a month traveling across Priangan to find out if the region had enough sulfur to mine commercially. Their findings were later published in a journal called Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indië in 1868, under the title “Verslag van een Onderzoek naar de Ontginbaarheid van Zwavel in de Preanger-Regentschappen”.

In the report – finished in Buitenzorg (modern-day Bogor) on July 23, 1866 – they explained that the investigation had been ordered by the Governor-General of the Dutch East Indies. The goal was simple: to find out whether sulfur mining in Priangan was worth pursuing. Since sulfur is often found in volcanic areas, and Priangan is packed with both active and ancient volcanoes, the region seemed like a good place to look. Plus, sulfur was in high demand at the time, especially for industrial uses and making gunpowder.

Their journey lasted 29 days, from April 23 to May 21, 1866. They traveled extensively, visiting places like Tangkuban Parahu Volcano, Talaga Bodas, Papandayan Volcano, Guntur Volcano and Cipanas, Mangunreja, Selacau, the Cilangon River, Singaparna, Sumedang, Bandung, Ciwidey and Patuha, Rongga and the Ciburial River, and Mount Parang – a former gold mine. They had even planned to visit Galunggung Volcano, but that part of the trip was canceled.

Everwijn and van Vlaanderen used a variety of techniques during their survey. They closely observed the landscape and volcanic features, measured the temperatures of the air, water, and volcanic gases, took soil and rock samples for laboratory testing, and even spoke with local residents and government officials. They also compared what they found with mining methods in Europe, particularly those used in Italy, Spain, and Austria.

It turns out sulfur was present in several locations, like Tangkuban Parahu, Talaga Bodas, and Papandayan – sometimes in its pure form, and sometimes mixed with clay or volcanic rock. The richest deposit was at Papandayan Volcano, where some samples had sulfur content as high as 80-90%. However, most of the other locations didn’t have enough sulfur, or it wasn’t pure enough, to make mining worthwhile. As for Mount Parang, despite its history as a gold mine, no valuable metals were found.

In the end, the experts concluded that only Papandayan Volcano had any real potential for sulfur mining. But even then, the costs of refining the sulfur, transporting it by land, and shipping it to Europe were just too high. Combined with the relatively small local demand in the Dutch East Indies, the whole idea did not make economic sense. So, they recommended that the project not move forward – sulfur may have been there, but the risks outweighed the rewards. (Atep Kurnia)

 

Survei Belerang di Priangan Tahun 1866

 

Dua orang ahli pertambangan pada Het Mijnwezen (Jawatan Pertambangan) Hindia Belanda mengadakan penyelidikan ke Keresidenan Priangan pertengahan tahun 1866. Keduanya adalah R. Everwijn sebagai “Hoofd-Ingenieur, Chef der afdeeling mijnwezen” (insinyur kepala, kepala bagian pertambangan) dan Dr. C.L. Vlaanderen sebagai “Mineralogisch scheikundige, Chef van het scheikundig laboratorium van het mijnwezen” (ahli kimia mineralogi, kepala laboratorium kimia pertambangan).

 

Sebagaimana yang tertulis dalam disertasi P.A.C. de Ruiter (Het Mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850-1950, 2016: 123), Everwijn bekerja di lingkungan Jawatan Pertambangan Hindia Belanda sejak tahun 1853 hingga 1881, sementara Vlaanderen bekerja sejak 1859. Mereka hampir sebulan penuh menyelidiki kemungkinan penambangan belerang di Priangan. Hasil penyelidikannya berjudul “Verslag van een Onderzoek naar de Ontginbaarheid van Zwavel in de Preanger-Regentschappen” dan dimuat dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indie (1868).

 

Di awal laporan yang selesai disusun di Buitenzorg (Bogor) pada 23 Juli 1866 itu mereka menyatakan penyelidikan tersebut dilaksanakan atas permintaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan tujuan untuk menilai potensi penambangan belerang di Priangan. Laporan ini didasari oleh pertimbangan belerang umumnya ditemukan dalam jumlah besar di daerah vulkanik. Priangan merupakan salah satu wilayah di Jawa yang kaya gunung berapi aktif dan tua, sehingga diduga memiliki potensi endapan belerang alami yang signifikan. Dan permintaan atas belerang, terutama untuk keperluan industri dan pembuatan mesiu di Hindia Belanda, memicu kebutuhan untuk eksplorasi sumber lokal.

 

Mereka berdua selama 29 hari sejak 23 April 1866 hingga 21 Mei 1866 berkeliling ke sekitar Keresidenan Priangan. Di antaranya mereka mengunjungi Gunung Tangkuban Parahu, Talaga Bodas, Gunung Papandayan, Gunung Guntur dan Cipanas, Mangunreja, Selacau, Sungai Cilangon, Singaparna dan Galunggung (dibatalkan), Sumedang dan Bandung, Ciwidey dan Patuha, Rongga dan Sungai Ciburial, dan Gunung Parang (bekas tambang emas).

 

Everwijn dan Vlaanderen menerapkan beberapa metode untuk penyelidikannya. Di antaranya observasi visual terhadap formasi batuan dan gejala vulkanik; pengukuran suhu udara, air panas, dan gas; pengambilan sampel batuan dan tanah untuk analisis laboratorium; uji kimia untuk mengukur kandungan belerang dalam batuan dan endapan; wawancara dengan pejabat dan penduduk lokal; serta perbandingan hasil dengan teknik penambangan dan pengolahan di Eropa (terutama di Italia, Spanyol, dan Austria).

 

Dari hasil penyelidikan mereka diketahui keberadaan belerang ditemukan di beberapa lokasi seperti Tangkuban Parahu, Talaga Bodas, dan Papandayan, baik dalam bentuk murni maupun campuran dengan tanah lempung atau batuan vulkanik. Kandungan tertinggi ditemukan di Gunung Papandayan, dengan di beberapa tempat mencapai kadar 80-90%. Namun, volume dan kemurnian belerang pada sebagian besar lokasi (seperti Talaga Bodas dan Ciwidey) tidak cukup tinggi. Gunung Parang juga diselidiki karena memiliki riwayat tambang emas, tetapi tidak lagi ditemukan jejak adanya logam mulia.

 

Oleh karena itu, kedua ahli pertambangan tersebut menyampaikan rekomendasi bahwa Gunung Papandayan dianggap satu-satunya lokasi dengan potensi cukup untuk diuji coba penambangan belerang di Priangan. Namun, meskipun belerang tersedia, biaya destilasi, transportasi darat, dan ekspor ke Eropa terlalu tinggi dibanding kebutuhan lokal Hindia Belanda yang terbatas. Dengan demikian mereka menyarankan agar tidak melanjutkan proyek penambangan belerang secara komersial di Priangan karena keuntungannya yang sangat kecil dan risiko ekonomi yang tinggi (Atep Kurnia).



Keterangan foto: Kawah Gunung Papandayan. Sumber: KITLV 1407123 (Krater van den Papandajan)

Ikuti Berita Kami