Ditemukannya Bukti Geologi Penyebab Tsunami Setinggi 80m di Pulau Ambon Bagian Utara

Pendahuluan
            “Segera setelah gempa, tsunami terjadi di seluruh pantai Pulau Ambon. Pantai barat laut Semenanjung Hitu terlanda tsunami paling parah, terutama di wilayah Ceyt (Seith), antara Lima (Negeri ‘Lima) dan Hila. Di lokasi tersebut air naik hingga 80-100 m, mencapai  puncak perbukitan dekat pantai, menerjang pepohonan, termasuk yang ada di perkebunan cengkih, yang menutupi lereng pantai berkapur di Mamala, Ela, Sinalo, Kaitetto (Kaitetu), Seith, Loboleu (Leibelehu), hampir sama seperti Lima, berakar. Hanya perkebunan dataran tinggi di Nausihola, Wakal dan Hitulama yang lolos dari kehancuran.”
“Semuanya begitu campur aduk di darat sehingga tidak dapat dikenali. Di wilayah Loboleu, jalur pantai menjadi sangat terjal. Antara Seith dan Hila dan di Hila sendiri, sebagian pantai juga runtuh ke dalam air, membawa korban jiwa di Pulau Ambon akibat tsunami. Menurut keterangan saksi mata, air naik seperti gunung. Mula-mula menggenangi Leibelehu, kemudian terbagi menjadi tiga aliran. Salah satunya menyebar di sepanjang pantai ke barat ke arah Lima dan Ureng, yang lain ke timur ke arah Hila, dan yang ketiga pergi ke laut, ke arah Cape Ryst di Pulau Seram, membawa serta pohon, rumah, ternak domestik, dan orang-orang. Pergerakan air disertai dengan suara yang sangat keras. Air yang mengalir berwarna hitam, sangat kotor dan berbau busuk; permukaannya berfosfor.”
            Dua alinea atas adalah informasi yang tercatat dalam katalog tsunami Soloviev dan Ch.N.Go (1974) yang diterjemahkan dan diperbaharui dalam katalog tsunami Badan Geologi (Yudhicara et al., 2023). Selama ini, masih banyak orang yang tidak percaya dengan adanya ketinggian tsunami mencapai angka 80 m di Ambon, namun data sangat penting dan tidak boleh diabaikan, karena menyangkut keselamatan manusia yang tinggal di daerah yang disebutkan mengalami dampak yang cukup parah saat peristiwa tersebut terjadi, maka dalam rangka memperkecil resiko bencana tsunami dan dalam upaya memberikan pemahaman tentang peristiwa bencana tsunami yang pernah terjadi di Pulau Ambon dan sekitarnya, maka Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, mengirimkan Tim yang akan mencari jejak tsunami di Pulau Ambon, terutama yang memicu tsunami pada tahun 1674 (Yudhicara et al., 2023). 
  
Hasil Penyelidikan
            Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka dilakukan penyelidikan rinci, terutana di Ambon bagian utara, termasuk  Hila dan Leibelehu (Gambar 1). Awalnya daerah Lima termasuk lokasi yang akan diselidiki dengan cara penggalian ke bawah permukaan tanah, namun wilayah tersebut sudah terganggu, karena dilanda banjir bandang, tepatnya pada tanggal 25 Juli 2013. 
 
Leibelehu
            Leibelehu atau di dalam katalog ditulis Loboleu, berada di wilayah Seith, yang disebutkan sebagai sumber tsunami tahun 1674, atau tepatnya pada koordinat 128.01842°BT dan 3.60607°LS. Berdasarkan keterangan dari penduduk yang mendapatkan cerita secara turun temurun, menyebutkan bahwa sebagian daratan pantai telah jatuh ke dalam laut, dan membentuk morfologi pantai yang curam, mulai dari Tanjung Air Hulung, Leibelehu, Haitunua, dan layn. Ketinggian tebing di Leibelehu adalah ~ 7 m dari dataran yang ada sekarang. 
            Di Seith, mulai dari Way Hulung hingga Way Buyang, terlihat pantai yang tiba-tiba curam dan membentuk tebing dengan ketinggian 6-10 m terhadap garis pantai. Ditemukan bagian pantai yang turun dan pepohonan yang memiliki akar tergantung karena lepas dari tempat tumbuhnya dan sebagian daratan telah jatuh ke laut. 
            Menurut keterangan penduduk, Sebuah perkampungan bernama Wasilla berserta warganya jatuh ke dalam laut, termasuk bangunan mesjid yang hingga saat ini berada di dalam air. Saat laut surut, ujung bagian atas dari mesjid tersebut, menyembul ke atas permukaan laut kurang lebih ~100 m dari darat. Hal ini diperkuat dengan kesaksian penduduk, yang sering melewati di lokasi tersebut, jika air laut sedang surut. hanya tampak bagian atas dari bangunan tersebut (Gambar 2). Pada dinding tebing yang menjadi bukti adanya penurunan lahan ditemukan indikasi nendatan yang menjadi bagian yang turun (Gambar 3).
            Jika estimasi panjang daratan pantai yang memiliki morfologi curam tersebut (Tanjung Hulung hingga Tanjung Buyang) mencapai 2.750 m dengan jarak batas lereng dengan kenampakan ujung struktur mesjid di laut sekitar 200 m, dan estimasi kedalaman laut ditambah ketebalan sedimen longsoran mencapai 100 m, maka dapat diperkirakan volume massa longsoran mencapai 55,000.000 m3 atau 0,055 km3. Namun ini baru estimasi, massa longsoran sangat mungkin lebih lebar dari apa yang bisa teramati dari darat. Saat ini Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan, sedang melakukan kegiatan survei kelautan di lokasi tersebut, sehingga diharapkan perhitungan dimensi dapat dihitung secara lebih akurat. 
                        Penggalian di wilayah Leibelehu ini dilakukan dengan dimensi galian adalah 1  x 1 m dengan kedalaman 1 m. Penggalian ini bertujuan untuk mencari jejak genangan tsunami di daerah ini.  Pada saat penggalian ditemukan terumbu karang/koral pada kedalaman 50 - 90 cm, pecahan porselen dan gerabah pada kedalaman 30 – 80 cm (Gambar 4). Potongan besi ditemukan pada kedalaman 60 cm, dan batugamping terumbu yang teroksidasi ditemukan pada kedalaman 80 cm. Butiran karbon ditemukan pada kedalaman 30 – 85 cm.
            Pada kedalaman 65 cm, ditemukan batu pipih yang merupakan batuan penyusun pantai. Hal ini menunjukkan dataran pantai lama yang tersusun oleh pasir kasar dan fragmen terumbu karang berada pada kedalaman tersebut (Gambar 5).  Deskripsi singkapan memperlihatkan warna yang homogen hingga pada kedalaman 50 cm, lalu ditemukan lapisan berukuran lebih halus berwarna abu-abu kehijauan pada kedalaman tersebut dengan ketebalan 15 cm, diendapkan di atas pasir pantai (dataran pantai lama) (Gambar 6).
            Pecahan porselen dan gerabah ditemukan pada kedalaman galian 30 - 80 cm, sedangkan terumbu karang ditemukan pada kedalaman 50 – 90 cm (Gambar 7). Potongan besi ditemukan pada kedalaman 60 cm. Banyak dijumpai spot-spot karbon yang ditemukan pada kedalaman galian 30 – 85 cm. 

Hila
            Di Hila, penggalian dilakukan di komplek Benteng Amsterdam yang berada pada koordinat 128.084092°BT dan 3.583192°LS (Gambar 8), karena di lokasi tersebut relatif tidak banyak terganggu, dibandingkan dengan di tempat-tempat lainnya. Bangunan benteng sudah ada sejak 1600, dipugar pada tahun 1633, dan setelah perisitiwa tsunami 1674, baru dipugar kembali pada tahun 1994, sehingga diperkirakan jejak tsunami masih tersimpan dengan baik di bawah permukaan tanah. 
            Pelaksanaan penggalian dilakukan setelah melakukan pemberitahuan dan permohonan ijin penggalian kepada pejabat setempat dan tokoh masyarakat, serta lembaga pelestarian peninggalan budaya Benteng Amsterdam. 
            Penggalian dilakukan dengan dimensi adalah panjang 1 m, lebar 1 m dan dihentikan setelah mencapai kedalaman 100 cm (1 m), karena ditemukan sisa struktur benteng yang diduga pernah berada di permukaan tanah dan kemudian terkubur pada kedalaman 60 cm, dengan komposisi batugamping dan tembok (Gambar 9). 
            Pada singkapan (Gambar 10), dapat terlihat dengan jelas adanya delapan perbedaan lapisan dengan urutan lapisan dari bawah ke atas, dengan deskripsi masing-masing lapisan sebagai berikut: 
A.    Bagian A adalah bagian dasar singkapan yang bisa dipijak, memiliki komposisi pasir kerikilan, dengan warna abu-abu kecoklatan. Diduga sebagai tanah penutup sebelum terjadinya tsunami (1674), dengan ketebalan yang tidak terukur, karena menerus hingga ke kedalaman yang belum tersingkap.
Bagian B merupakan lapisan dengan komposisi lempungan, berwarna oranye, diduga teroksidasi, dengan ketebalan 10 cm lalu menipis ke arah yang berlawanan searah horisontal (membaji), berada pada paleosoil (C). Keberadaan lapisan ini ditemukan di keempat dinding singkapan (selatan, barat, utara dan timut), namun pada dinding bagian timur hanya ditemukan sangat sedikit, tepat di atas struktur sisa bangunan benteng. 
B.     Bagian B merupakan lapisan dengan komposisi lempungan, berwarna oranye, diduga teroksidasi, dengan ketebalan 10 cm lalu menipis ke arah yang berlawanan searah horisontal (membaji), berada pada paleosoil (C). Keberadaan lapisan ini ditemukan di keempat dinding singkapan (selatan, barat, utara dan timut), namun pada dinding bagian timur hanya ditemukan sangat sedikit, tepat di atas struktur sisa bangunan benteng. 
C.    Pasir kerikilan berwarna abu-abu kecoklatan, mengandung fragmen batuan berwarna merah bata, berada di antara dua lapisan lempung teroksidasi (B) dengan ketebalan 25 cm.
D.    Lapisan lempung berwarna kuning teroksidasi yang tebal, diduga sebagai endapan hasil genangan tsunami (dimana saat air menggenang/diam, material halus akan turun terendapkan), dengan ketebalan 10-12 cm.
E.    Paleosoil dengan komposisi kerikil pasiran berwarna abu-abu kecoklatan, mengandung fargmen batuan berukuran kerikil hingga kerakal yang berwarna abu-abu kehijauan, pada lapisan ditemukan pecahan porselen dan gerabah (antropogenik). Lapisan ini memiliki ketebalan 18 cm.
F.    Lapisan pasir berwarna kuning, diduga awalnya pasir pantai berwarna putih yang kemudian teroksidasi, memiliki ketebalan 3-5 cm.
G.    Pasir sangat halus, berwarna abu-abu terang, memiliki ketebalan 2 cm, ditemukan butiran karbon sisa tanaman.
H.    Soil penutup berwarna hitam dengan ketebalan 14 cm, yang memiliki komposisi pasir mengandung kerikilan dengan posisi terorientasi timur-barat. 
            Pada dinding timur, dijumpai sisa bangunan benteng yang terkubur, diduga sebelum tsunami, struktur tersebut ada di permukaan tanah, namun saat terjadi peristiwa di Hila, mengakibatkan struktur bangunan yang berbentuk dua undak tangga tersebut digenangi air yang membawa serta tanah yang terendapkan di atasnya. Pengambilan sampel dilakukan pada tiap lapisan, yang akan diuji di laboratorium (Gambar 12).
            Fosil gastropoda ditemukan di kedalaman 40 cm, 70 cm dan 100 cm (Gambar 13), pecahan porselen pada kedalaman 40 cm, pecahan gerabah ditemukan pada kedalaman 40 cm dan 60 cm (Gambar 14), sedangkan pecahan koral ditemukan pada kedalaman 30 cm dan 70 cm. Pecahan kaca ditemukan pada kedalaman 46 cm, kapur ditemukan pada kedalaman 30 cm. 

Diskusi dan Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penyelidikan endapan tsunami di Pulau Ambon, dapat diambil kesimpulan bahwa di bagian utara Pulau Ambon, pernah dilanda tsunami yang berasal dari longsornya massa daratan ke dalam laut. Hal ini disebabkan oleh kemiringan lereng yang curam baik di daratan maupun di dalam laut, yang ditunjukkan oleh perubahan morfologi yang tiba-tiba di daratan dan kedalaman dasar laut yang tiba-tiba curam di dekat pantai. Estimasi volume longsoran yang bisa mencapai 0,055 km3, mengkonfirmasi bahwa tsunami pada tahun 1674 bisa menimbulkan tsunami setinggi 80 m. 
            Adanya karakter endapan tsunami, baik yang ditemukan di Hila maupun di Leibelehu akibat longsoran yang bersifat lokal yang menggenangi suatu daratan yang berbeda dengan tsunami yang diakibatkan oleh penyebab lain seperti gempa bumi, memperkuat adanya dugaan bahwa tsunami di Pulau Ambon terutama yang terjadi pada tahun 1674, adalah disebabkan oleh longsoran massa daratan ke dalam laut. Karakter endapan tsunami akibat genangan tsunami tersebut antara lain, ketebalan sedimen dengan jenis material halus lebih dominan daripada material yang kasar. Ciri-ciri lainnya adalah adanya penemuan material yang berasal dari laut dan pantai di sekitarnya yang bercampur diendapkan di suatu tempat. Adanya tiga lapisan yang diduga hasil genangan tsunami di Hila, apakah berasal dari tiga peristiwa yang berbeda, akan dibuktikan dengan pegujian sampel di laboratorium.
            Penemuan fosil gastropoda yang berasal dari laut dangkal (kedalaman 50 m) di daratan, yang bercampur massa daratan (terumbu karang) dan benda-benda dari aktivitas manusia (pcorselen, gerabah, kaca dan benda lainnya), menunjukkan adanya indikasi bahwa daratan pernah digenangi oleh tsunami.
            Adanya peristiwa tsunami yang terjadi pada masa lampau dapat menjadi pengingat bahwa kejadian serupa bisa terjadi lagi di masa yang akan datang, sehingga peningkatan kapasitas masyarakat setempat perlu dipersiapkan, yaitu dengan cara edukasi dini dan penyiapan sarana dan prasarana, serta memperbaiki pola tata ruang daerah terdampak agar dapat memitigasi dampak bencana, jika tiba-tiba terjadi di masa yang akan datang.
 
Ucapan Terimakasih
            Kegiatan penyelidikan endapan tsunami ini terlaksana dengan anggaran belanja Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Geologi tahun 2024. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala Pusat, P2K, Ketua Tim Mitigasi Geologi Gempa Bumi dan Tsunami, Pejabat Hila, Pejabat Seith, Pengelola Benteng Amsterdam di Hila, Komandan Lantamal IX, Tim dari Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran kegiatan penyelidikan. 
 
Daftar Pustaka
Rumphius, G.E., 1675. True History of the Terrible Earthquake. Amboina. Terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh E.M., Beekman dan F. Foss Tahun 1997.
Soloviev dan Ch.N.Go, 1974. Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean. Canadian Translation of Fisheries and Aquatic Sciences No. 5077. Katalog tsunami na zapadnom poberezh'e tikhogo okeana. Nauka Publishing House, Moscow, 310 pp., 1974. Original language: Russian
Xi Zhugang, Hu Xiaolin, Fang Yong, Yin Xinyi, Du Hongyu, 2016. Tectonic evolution of North Seram Basin, Indonesia, and its control over hydrocarbon accumulation conditions. CHINA PETROLEUM EXPLORATION 21(6): 1-8.
Yudhicara, Cipta, A., Maemunah, I., Lewu, A.P., Nurfalah, F., 2023. Katalog Tsunami Indonesia, Penerbit: Badan Geologi, KESDM. 

 (Yudhicara, A. Cipta, M.A.J. Pradipto dan S. kurniawan)

Ikuti Berita Kami