Lapuk oleh Lintang

Sumber gambar: https://www.thewonderofwandering.com/

Cecep baru saja pulang dari liburan musim panas di Eropa. Dengan bangganya ia menceritakan pengalamannya pada Selena.   

Cecep : Len, bangunan di Eropa bagus-bagus, indah, dan bersih lho!  

Selena : Saya juga lihat di Youtube memang bagus-bagus bangunannya.  

Cecep : Walaupun sudah tua, bangunan-bangunan di sana masih kokoh. Beda sekali dengan di Indonesia. Bangunannya cepat rusak, belum lagi kalau musim hujan jadi pada kotor, tanah coklat nempel dimana-mana!  

Selena : Ya beda lah. Indonesia kan negara tropis.  

Cecep : Apa hubungannya??  

Sahabat Museum, dari percakapan singkat antara Cecep dan Selena di atas ada hal menarik yang akan kita bahas kali ini: pelapukan. Secara sederhana, pelapukan adalah perubahan atau hancurnya batuan menjadi mineral sekunder pada kondisi permukaan/atmosferik. Pelapukan tidak hanya terjadi pada batuan, namun juga berbagai material di permukaan bumi, termasuk bangunan dan logam. Pelapukan dapat terjadi secara kimia, fisika, dan biologi. Beberapa hal yang mempengaruhi tingkat kecepatan pelapukan adalah temperatur, kelambapan, air, intensitas sinar matahari, gas, jenis batuan dan peran organisme.  

Pelapukan secara kimia melibatkan reaksi kimia yang terjadi secara alami pada kondisi permukaan. Contohnya ialah reaksi mineral felspar dengan air. Felspar pada batuan beku dapat bereaksi dengan air pada temperatur permukaan dan membentuk mineral-mineral baru, yaitu golongan mineral yang mengandung air atau disebut mineral hidroksida. Hasil dari reaksi tersebut akan mengubah felspar menjadi mineral lempung seperti kaolinit. Reaksi kimia pelapukan ini akan lebih intensif ketika kondisi lingkungannya lebih basah dan bertemperatur lebih hangat, seperti di daerah beriklim tropis.  

Pelapukan fisika biasanya dipengaruhi faktor fisika seperti perubahan temperatur dan benturan antarpartikel. Contohnya ialah di daerah beriklim sedang. Di daerah ini, pada musim panas suhu menjadi hangat bahkan mirip di daerah beriklim tropis. Namun pada musim dingin, temperatur bisa turun hingga di bawah titik beku. Ketika musim panas, retakan batuan di daerah beriklim sedang akan terisi air. Kemudian saat mudim dingin tiba, air pada retakan batuan akan membeku. Kita tahu bahwa volume air ketika membeku lebih besar daripada volume ketika cair. Volume yang meningkat ini akan menekan dinding retakan sehingga semakin melebar dan akhirnya batuan pecah. Hal ini terjadi berulang-ulang sehingga batuan tersebut penjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil. Hasilnya, batuan besar akan berubah menjadi ukuran yang lebih halus, bahkan hingga seukuran pasir. Namun, secara kimia, komposisinya relatif tidak berubah.  

Pelapukan secara biologi bisa sahabat Museum amati di lingkungan sekitar. Biasanya di sela-sela retakan bangunan akan tumbuh berbagai tumbuhan, umumnya jenis lumut dan paku-pakuan. Terkadang, tumbuh juga beringin. Pada proses biologis ini, akar dari tanaman akan melepaskan berbagai asam humus yang akan membantunya melumatkan berbagai mineral di tempat dia tumbuh, sehingga akar ini kemudian dapat menyerap unsur-unsur dari tempat ia tumbuh. Semakin lama, penyebaran akar akan semakin luas dan sisa-sisa lumut dan tumbuhan akan berubah menjadi lapisan tanah tipis. Untuk mengamatinya, sahabat bisa menemukan lapisan tanah tipis ini di bawah lumut.   

Nah, kembali pada percakapan Cecep dan Selena. Kita bisa membayangkan bahwa proses pelapukan di daerah beriklim tropis seperti Indonesia didominasi oleh pelapukan secara kimia dan biologi. Hasilnya adalah lapisan tanah yang tebal dan kaya akan lempung. Hal ini berkebalikan dengan daerah beriklim sedang yang pelapukannya didominasi secara fisika, yang mengubah batuan menjadi butiran yang lebih halus, namun sangat sedikit menghasilkan lempung. Lalu, apa salahnya dengan lempung?

Sumber gambar: https://www.gardeningknowhow.com   

Kalau sahabat perhatikan, tanah di Indonesia kaya akan lempung. Lempung yang paling berlimpah adalah kaolinit. Jika sahabat menginjak lempung ini, maka ia akan menempel pada sepatu dan akan mengotori kemanapun sepatu ini berpijak. Berbeda jauh dengan tanah di daerah beriklim sedang yang cenderung berpasir, miskin lempung. Pasir hanya akan menempel sementara pada alas sepatu dan kurang mengotori lingkungan. Itulah mengapa, pedestrian di negara beriklim sedang cenderung lebih bersih, termasuk sepatu kita, beda dengan di Indonesia yang seringkali kotor kecoklatan.              

         

Hubungan antara letak lintang suatu wilayah dengan tingkat pelapukan dapat sahabat perhatikan pada diagram Strakhov (1967) di atas. Terlihat bahwa di daerah tropis dan lembap, tingkat curah hujan sangat tinggi, begitu pula dengan temperatur, akibatnya pelapukan kimia menjadi sangat intensif merubah batuan menjadi tanah. Kondisi ini berbeda jauh dengan area di lintang tinggi (30°-90°) yang tingkat pelapukannya rendah dan didominasi pelapukan secara fisika. Oleh sebab itu, bangunan-bangunan di wilayah ini lebih tahan lama dan lingkungannya pun terlihat lebih bersih.  

Jadi, bagaimana jika kita ingin membuat lingkungan kita bersih? Salah satu caranya adalah dengan menutup permukaan tanah, khususnya untuk pedestrian, dan tanah yang terbuka ditanami rumput yang bisa menahan permukaan tanah dari deraan tetasan air hujan. Beberapa kota besar di daerah tropis sudah menerapkan metode ini.   

Penulis: Mohamad Galuh Sagara, S.T.

Ikuti Berita Kami