Badan Geologi Tebar Jejak Prestasi: Capaian Kapasitas Survei (Bagian Ketiga)

Badan Geologi melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merilis laporan terkini mengenai kondisi kebencanaan geologi di Indonesia hingga September 2025. Laporan ini mencakup aktivitas gunung api, gempa bumi, tsunami, hingga fenomena penurunan tanah, serta menyoroti upaya modernisasi teknologi dan integrasi data untuk memperkuat mitigasi.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai unit pelaksana teknis Badan Geologi terus melaksanakan fungsi pengamatan, analisis, dan mitigasi terhadap potensi kebencanaan geologi yang meliputi aktivitas gunung api, gerakan tanah, gempa bumi, tsunami, serta fenomena geologi lain seperti likuefaksi dan penurunan tanah (land subsidence). Laporan ini merupakan hasil pemantauan, evaluasi, serta pengembangan kegiatan bidang kebencanaan geologi hingga bulan September 2025, termasuk upaya peningkatan teknologi pemantauan dan sarana prasarana pendukung mitigasi bencana geologi.

A. KONDISI TERKINI KEBENCANAAN GEOLOGI

1. Aktivitas Gunung Api

Hingga September 2025, terdapat 127 gunung api aktif di Indonesia. Berdasarkan pemantauan terkini, status aktivitas gunung api menunjukkan dinamika sebagai berikut:

- Level IV (Awas): 1 Gunung Api

- Level III (Siaga): 3 Gunung Api

- Level II (Waspada): 21 Gunung Api

- Level I (Normal): 44 Gunung Api

Tidak terdapat laporan korban jiwa akibat aktivitas gunung api selama periode ini. Pemantauan secara kontinu dilakukan oleh petugas pos pengamatan dan sistem MAGMA Indonesia untuk mendukung penyampaian informasi cepat kepada masyarakat dan pemerintah daerah.

2. Gempa Bumi dan Tsunami

PVMBG mencatat terdapat 97 kejadian gempa bumi dirasakan sepanjang September 2025. Dari jumlah tersebut, 4 gempa bumi tergolong merusak, yaitu:

1. Nabire (Papua Tengah): 3 orang luka-luka, kerusakan pada Kantor Bupati, bandara, rumah penduduk, dan jembatan terputus.

2. Sukabumi (Jawa Barat): 14 rumah rusak.

3. Situbondo–Banyuwangi (Jawa Timur): 137 rumah rusak.

4. Tanggamus (Lampung): 11 rumah rusak.

Terkait potensi tsunami, Indonesia memiliki 16 segmen zona megathrust dengan panjang total 99.093 km wilayah pantai rawan tsunami. Analisis PVMBG juga menunjukkan indikasi kemungkinan likuefaksi pada kejadian gempa Nabire, meskipun hingga saat ini belum terdapat laporan lapangan yang terkonfirmasi.

3.Penurunan Air Tanah (Landsubsidence)

Fenomena penurunan tanah terus terjadi secara perlahan dan menerus di wilayah pantura Jawa, terutama di Pekalongan, Semarang, dan Demak. Proses ini disebabkan oleh kombinasi faktor alami (konsolidasi sedimen aluvial) dan antropogenik (pengambilan air tanah berlebih). PVMBG terus melakukan pemantauan dan memberikan rekomendasi teknis mitigasi jangka panjang melalui pendekatan tata ruang, sistem drainase, dan manajemen air tanah.

1.                  Likuifaksi

2.                  Pengembangan Teknologi dan Infrastruktur Kebencanaan

2.Modernisasi Peralatan Pemantauan

Dalam upaya meningkatkan efektivitas pemantauan kebencanaan geologi, PVMBG telah melaksanakan modernisasi peralatan pemantauan pada:

- 6 Gunung Api: Tangkuban Parahu, Guntur, Galunggung, Awu, Batur, dan Lewotobi Laki-Laki.

- 2 Stasiun Pemantau Sesar Aktif di wilayah Jawa Barat.

Modernisasi ini mencakup peningkatan sistem sensor, transmisi data real-time, dan integrasi ke platform MAGMA Indonesia.

Modernisasi pemantauan gunungapi di Indonesia pasca tragedi Semeru 2021 tidak hanya menghasilkan peningkatan jumlah peralatan di lapangan, tetapi juga membentuk suatu ekosistem manajemen data yang terintegrasi. Hal ini merepresentasikan capaian besar yang melampaui sekadar instalasi instrumen, melainkan menyangkut perubahan paradigma dalam pengelolaan informasi kebencanaan geologi. Program ini telah berjalan pada periode 2022–2024 dengan dukungan penuh dari Kementerian ESDM, PVMBG, serta sinergi lintas lembaga, dan kini menunjukkan hasil nyata baik pada level teknis maupun kelembagaan.

3.Capaian Integrasi Data dan Informasi (Status Per 2025)

Modernisasi peralatan pemantauan di lapangan ditopang oleh arsitektur integrasi data yang sedang dibangun di atas ekosistem MAGMA Indonesia, yang sejak 2015 menjadi tulang punggung pelaporan aktivitas kebencanaan geologi. Peta konseptual ekosistem MAGMA Indonesia pada Gambar 6 menunjukkan cakupan hulu–hilir: dari instalasi, akuisisi, penyimpanan, analisis, pelaporan operasional, sampai diseminasi publik. Namun, penting digarisbawahi bahwa beberapa modul inti saat ini masih berada pada tahap desain dan pengembangan bertahap (incremental), sementara sebagian fitur pelaporan sudah berjalan penuh. Pendekatan bertahap ini konsisten dengan rekomendasi internal untuk memastikan digitalisasi sensor dan transmisi data berujung pada perbaikan pengambilan keputusan, bukan sekadar “sukses instalasi” (yakni data harus mengalir, terarsip, dan terpakai di ruang analisis/kolaborasi).

Keseluruhan capaian Badan Geologi hingga September 2025, yang mencakup peningkatan kapasitas survei migas dan mineral, upaya konservasi air tanah melalui zonasi dan penambahan sumur pantau, serta modernisasi sistem mitigasi kebencanaan geologi, menegaskan peran strategis institusi ini dalam pembangunan nasional. Dengan posisi geologis Indonesia yang kompleks, kinerja Badan Geologi menjadi penentu utama dalam menyeimbangkan antara optimalisasi pemanfaatan kekayaan sumber daya alam sebagai modal ekonomi, dan manajemen risiko bencana geologi yang krusial untuk melindungi keselamatan masyarakat serta keberlanjutan infrastruktur. Seluruh program ini menunjukkan komitmen Badan Geologi untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan geologi demi ketahanan negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

 

 

 

Ikuti Berita Kami