Bangka dan Potensi Litium: Harta Karun Energi Masa Depan dari Alam Indonesia

Pulau Bangka, yang selama ini dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia, ternyata menyimpan potensi lain yang tak kalah strategis yaitu litium. Unsur kimia ini menjadi bahan utama dalam produksi baterai telpon seluler, laptop, hingga mobil listrik. Dengan meningkatnya kebutuhan energi bersih dan kendaraan listrik global, permintaan terhadap litium pun melonjak drastis. Melalui penyelidikan terbaru, Pusat Survei Geologi – Badan Geologi berhasil mengungkap potensi litium di air permukaan dan batuan Pulau Bangka.

Studi ini mencakup pengukuran kadar litium di sungai, danau, hingga air laut di sekitar Bangka. Tidak lupa, kadar litium pada ragam batuan, seperti granit, laterit, dan saprolite, juga diukur. Pengukuran dilakukan menggunakan teknologi canggih seperti ICP-OES (untuk mendeteksi unsur kimia), SEM-EDX (untuk melihat struktur permukaan), dan XRD (untuk mengidentifikasi jenis kristal mineral).

Hasil studi menunjukkan bahwa diantara sampel cairan, air laut di Bangka memiliki konsentrasi litium tertinggi dengan rerata 0,28 ppm (bagian per sejuta).  Sampel air dengan rerata jumlah litium tinggi berikutnya adalah air danau dan air sungai. Menariknya, batuan granitik dari Bangka juga kaya litium—bahkan beberapa sampel menunjukkan kandungan hingga 79 ppm seperti tampak pada Gambar 1.

Studi ini dapat mengidentifikasi empat jenis mineral pembawa litium, yaitu lepidolit, polilitionit, sodalit, dan olimpit (Gambar 2). Selain analisis kuantitatif, kristalinitas mineral litium juga dievaluasi karena memengaruhi kelarutan litium dalam air. Kristal dengan ukuran lebih kecil, seperti lepidolit (105 nm) dan sodalit (145 nm), lebih mudah larut. Sebaliknya, kristal besar seperti polilitionit dan olimpit cenderung kurang larut meskipun berada dalam kontak langsung dengan air laut. Hal ini menunjukkan pentingnya parameter mineralogi dalam distribusi litium di lingkungan akuatik.

Potensi dampak lingkungan dan kesehatan dari kontaminasi litium di air minum harus menjadi perhatian. Batas aman konsumsi litium dalam air minum adalah 60 ppb, dan konsentrasi yang melebihi angka ini bisa berdampak negatif pada kesehatan manusia. Oleh karena itu, penelitian lanjutan dan pengawasan lingkungan mengenai kandungan litium pada sumber air minum perlu dikembangkan. Pembahasan lengkap mengenai studi ini dapat dilihat pada link berikut https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2666016424001555.

Penemuan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mandiri dalam sumber daya kritis yang selama ini masih diimpor. Litium tidak hanya penting bagi industri stategis, tetapi juga punya dampak besar bagi transisi energi ramah lingkungan. Selain itu, informasi sebaran litium di air juga bisa menjadi indikator lokasi batuan sumbernya, sehingga eksplorasi bisa lebih efisien dan hemat biaya. Dengan riset dan teknologi yang tepat, kekayaan alam seperti di Pulau Bangka bisa menjadi kunci menuju kemandirian energi nasional sekaligus kontribusi nyata bagi dunia yang lebih hijau.

Penulis             : Asep Rohiman

Penyunting       : Tim Scientific Board – Pusat Survei Geologi

Ikuti Berita Kami