Sebagai bagian dari rangkaian acara Asia Pacific Coastal Aquifer Management Meeting (APCAMM) ke-8 dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-7 Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia (PAAI), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyelenggarakan kegiatan Field Trip pada Kamis 7 Agustus 2025 di wilayah Jakarta Utara. Kegiatan ini dihadiri oleh para ahli dan praktisi air tanah dari dalam dan luar negeri untuk mempelajari langsung tantangan sekaligus upaya pengelolaan pesisir Jakarta Utara.
Sebanyak 74 peserta dari berbagai institusi ternama ikut ambil bagian mulai dari University of Natural Resources and Environment (HUNRE), The University of Hong Kong, Universiti Kebangsaan Malaysia, Flinders University, The Hong Kong University of Science and Technology (Guangzhou), hingga Universiti Brunei Darussalam. Dari Indonesia hadir perwakilan ahli dari Badan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Jenderal Soedirman, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, LAPI ITP Foundation dan sektor swasta.
Rangkaian kunjungan meliputi Tanggul Pantai Jakarta Utara, Sumur Pantau Extensometer di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Museum Bahari, Menara Syahbandar, dan Balai Konservasi Air Tanah (BKAT).
Di Tanggul Pantai Jakarta Utara, peserta menyaksikan langsung dampak penurunan tanah yang mencapai 4–20 cm per tahun. Studi menunjukkan bahwa tanggul setinggi 3 meter hanya efektif sebagai solusi jangka pendek, sementara solusi jangka panjang mitigasi perlu dilakukan dengan membatasi pengambilan air tanah, memperluas layanan air perpipaan, menyediakan sumber air alternatif, dan memperkuat infrastruktur pesisir. Masjid Wal Adhuna di Muara Baru menjadi contoh nyata dampak penurunan tanah di wilayah pesisir Jakarta. Bangunan yang dahulu aktif digunakan kini terendam sebagian dengan hanya atap dan kubah yang masih terlihat. Kondisi ini menggambarkan betapa seriusnya permasalahan penurunan tanah di Jakarta Utara.
Museum Bahari yang dulunya berada di garis pantai kini berjarak ± 1 km dari laut akibat proses sedimentasi. Bangunan bersejarah ini juga mengalami penurunan tanah, terlihat dari lantai dasar yang berposisi lebih rendah dibanding jalan disekitarnya. Hasil pengukuran Ground Penetrating Radar (GPR) yang dilakukan oleh Badan Geologi menunjukan bahwa sisi utara bangunan (Ruang Pameran) mengalami penurunan sekitar ± 1,5 m, sedangkan sisi selatan (Gedung A) turun ± 1,25 m. Tak jauh dari lokasi tersebut, Menara Syahbandar yang dijuluki "Menara Miring" Jakarta, memiliki kemiringan 6° ke arah selatan. Hasil GPR memperlihatkan adanya kompresi pada lapisan lempung pasiran dan terjadi “crack” sehingga menyebabkan lapisan yang menopang pondasi pada bagian selatan menara mengalami penurunan (settlement). Kondisi ini membuat struktur menara kehilangan kestabilannya dan perlahan miring ke arah selatan.
Terakhir peserta mendapatkan paparan dari Kepala Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Badan Geologi berupa gambaran komprehenshif tentang upaya pemantauan dan pengelolaan air tanah Jakarta. Setiap tahunnya BKAT melakukan pemantauan kondisi air tanah pada 200 titik sumur pengamatan dan pemantauan perubahan muka tanah pada 100 titik Benckmark. Data tahun 2018–2024 menunjukkan tren positif, muka air tanah tertekan (confined) mulai pulih dengan kenaikan 0,05–6 meter per tahun di beberapa titik. Laju penurunan tanah pun menurun signifikan dari 1–20 cm per tahun (1997–2005) menjadi hanya 0,05 – 5,17 cm per tahun (2015–2023). Peserta juga melihat langsung teknologi pemantauan seperti sumur pantau air tanah, GNSS Base Station Permanen dan sumur penurunan tanah, serta sistem infromasi terintegerasi yang menyajikan data kondisi air tanah dan penurunan muka tanah secara real-time. Informasi ini menjadi dasar penting dalam pengambilan kebijakan konservasi dan pengelolaan air tanah di Jakarta.
Kegiatan Field Trip ini tidak hanya membuka wawasan tentang kompleksitas tantangan penurunan tanah dan intrusi air laut, tetapi juga menjadi wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman lintas negara. Hasil kunjungan ini diharapkan menjadi masukan berharga untuk kebijakan pengelolaan pesisir dan sumber daya air tanah yang lebih adaptif dan berkelanjutan di Indonesia. (Titan Roskusumah)