Bersama ini kami sampaikan laporan hasil penyelidikan lapangan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat berdasarkan kejadian gerakan tanah yang terjadi di Tol Cisumdawu Km 177. Hasil penyelidikan Tim Badan Geologi terkait gerakan tanah dilokasi tersebut sebagai berikut:
1. Lokasi dan Waktu Kejadian Gerakan Tanah:
Gerakan tanah terjadi di ruas Jalan Tol Cisumdawu (Cileunyi Sumedang Dawuan) Kilometer 177 tepatnya di Dusun Bojongtotor, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada koordinat 6.844456° LS dan 107.874619° BT (gambar 1). Berdasarkan informasi dari warga setempat dan BPBD Kab. Sumedang, tanda gerakan tanah mulai teridentifikasi pada awal tahun 2017 berupa retakan pada area kebun, jalan arteri dan rumah penduduk sebelum dibangun Jalan Tol Cisumdawu. Kejadian gerakan tanah berkembang ke bagian atas lereng pada tahun 2021 setelah dilakukan pemotongan lereng. Pada akhir bulan Mei 2025 gerakan tanah berkembang kembali dengan ditandai amblasan yang cukup intensif setelah terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan durasi yang cukup lama.
2. Kondisi Daerah Bencana
Secara umum, morfologi di lokasi gerakan tanah merupakan daerah perbukitan bergelombang kuat. Di lokasi gerakan tanah sudah mengalami perubahan morfologi akibat pemotongan lereng untuk pembangunan Tol Cisumdawu yang dimulai pada tahun 2017 (gambar 11). Lokasi gerakan tanah berada pada punggungan yang diapit oleh dua lembah pada bagian utara dan selatan dengan arah aliran sungai ke arah timur. Morfologi di antara daerah Sumedang-Bandung pada umumnya membentuk dataran – dataran kecil atau bagian-bagian rata dan bukit-bukit rendah. Kemiringan lereng di lokasi gerakan tanah berkisar antara 17,2° - 24,9° curam. Lokasi gerakan tanah berada pada ketinggian 677 - 780 meter diatas permukaan laut (gambar 2).
Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan, daerah lokasi gerakan tanah tersusun oleh breksi piroklatika yang terbagi menjadi beberapa lapisan akibat proses pelapukan yaitu;
Lanau lempungan merupakan tanah residu yang berasal dari pelapukan sempurna dari batuan berwarna merah kecoklatan, plastisitas sedang - tinggi, konsistensi kaku - sangat kaku, lembab (foto 4).
Breksi berwarna coklat kemerahan (foto 5), struktur masif, tekstur klastik, fragmen andesit hingga ukuran bongkah pada masa dasar lanau lempungan (hasil XRD 80% mineral haloysite), terlihat pelapukan mengulit bawang, warna merah dan kuning diperkirakan proses alterasi, berdasarkaan klasifikasi ISRM (1981) menunjukkan pelapukan tinggi - sangat tinggi (grade IV - V), kekerasan sangat lemah sekali (R0) atau seperti tanah yang padat - sangat padat, nilai geological strengh index (GSI ) antara 20 - 25.
Breksi berwarna coklat keabu-abuan (foto 6), struktur masif, tekstur klastik, fragmen andesit hingga ukuran bongkah pada masa dasar pasir - lanau, terlihat pelapukan mengulit bawang, berdasarkaan klasifikasi ISRM (1981) menunjukkan pelapukan sedang (grade III), kekerasan sangat lemah - lemah (R2 - R3), nilai geological strengh index (GSI ) antara 40 - 45.
Breksi berwarna abu-abu (foto 6), struktur masif, tekstur klastik, fragmen andesit hingga ukuran bongkah pada masa dasar hingga pasir kasar, terlihat pelapukan mengulit bawang, berdasarkaan klasifikasi ISRM (1981) menunjukkan pelapukan rendah (grade II), terdapat banyak kekar (very blocky) , kekerasan medium (R3), nilai geological strengh index (GSI ) antara 45 – 55.
Berdasarkan Peta Geologi Kabupaten Sumedang (Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, 2013) menunjukkan bahwa area gerakan tanah berada pada sebaran endapan kuarter yang merupakan bagian dari Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu) (gambar 3). Batuannya terdiri dari pasir tufan, lapili, breksi, lava, aglomerat yang merupakan produk letusan dari Gunung Tampomas. Berdasarkan Peta Geologi Teknik Regional oleh Djadja dan Hermawan (1996) menunjukkan bahwa area longsoran ini tersusun atas tanah residual hasil pelapukan formasi batuan yang ada dengan ketebalan tanah dapat mencapai 20,0 m. Tanah berjenis lempung lanauan hingga lanau pasiran berwarna coklat kemerahan, plastisitas sedang – tinggi, permeabilitas rendah, teguh – kaku.
Tata guna lahan pada daerah gerakan tanah berupa permukiman dan kebun dibagian atas, serta area persawahan yang terletak di bagian bawah. Pada bagian tengah merupakan area terbuka yang sebagian besar ditumbuhi ilalang. Pada bagian bawah (kaki longsoran) merupakan area jalan Tol Cisumdawu yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Sumedang. Perubahan fungsi tata guna lahan dibagian tengah yang tadinya area pemukiman dan jalan arteri menjadi area jalan tol terlihat pada citra satelit google earth di tahun 2017 – 2021 (gambar 11).
Kondisi keairan setempat memperlihatkan keberadaan aliran alami pada sisi selatan bagian luar area gerakan tanah yang disalurkan pada saluran air kedap (beton). Sebagian konstruksi saluran terlihat mengalami kerusakan pada bagian ujung saluran sebelum memotong jalan tol. Menurut informasi warga setempat menyebutkan bahwa penggalian dalam pencarian air tanah dapat mencapai kedalaman > 20,0 m di bawah permukaan tanah. Belum diketahui pasti kedalaman air tanah pada area longsoran.
Pola pengaliran di lokasi gerakan tanah termasuk kedalam pola pengaliran sub pararel yang dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang curam, pola paralel seringkali mengindikasikan adanya kekar yang sejajar yang mengontrol arah aliran sungai juga proses erosi dan pelapukan yang terjadi secara merata di seluruh area (gambar 4).
Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat (Badan Geologi, 2016) lokasi gerakan tanah di Tol Cisumdawu Km 177 berada pada Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah (gambar 5). Artinya daerah yang mempunyai tingkat kerentanan menengah untuk terkena gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali dipicu oleh curah hujan tinggi dan/atau gempabumi. Pada umumnya kisaran kemiringan lereng mulai dari agak terjal (9o s.d. 17o), terjal (>17o s.d. 36o), dan curam (> 36o), tergantung pada kondisi geologi setempat dan lereng yang dibentuk oleh bahan timbunan.
Berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya Gerakan Tanah pada Bulan Mei 2025 di Kabupaten Sumedang (Badan Geologi, 2025), daerah bencana berada pada prakiraan potensi gerakan tanah menengah (gambar 6). Artinya, daerah yang mempunyai potensi menengah untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
3. Situasi dan Dampak Gerakan Tanah
Tipe gerakan tanah yang terjadi pada lokasi ini adalah tipe rayapan pada zona seluas 7,36 ha dengan panjang 340 meter dan lebar maksimal 275 meter. Kenampakan dilapangan berupa retakan melintang seperti tapal kuda pada lereng, dan terlihat pada gawir mahkota telah mengalami penurunan 1,35 – 1,65 meter (gambar 7,8,9). Tipe ini bergerak lambat namun berulang serta berpotensi untuk berkembang menjadi tipe deep seated landslide dengan bidang gelincir melengkung (rotational landslide). Gerakan tanah ini diawali dengan retakan pada permukaan tanah, badan jalan, dan bangunan dinding penahan, memiliki lebar retakan 5 – 30 cm, panjang 5 – 140 m dan kedalaman 1 - 2 m.
Berdasarkan data penyelidikan lapangan dan hasil analisis digital elevation model (DEM) dari drone lidar, dampak gerakan tanah sebagai berikut:
4. Interpretasi geofisika metode tahanan jenis 2D
Pengukuran geofisika metode tahanan jenis 2D (Geolistrik 2D) pada penyelidikan ini dilakukan secara Mapping Resistivity berdasarkan konfigurasi Schlumberger – Wenner. Pengukuran menggunakan geolistrik dilakukan dengan 4 lintasan yang berbeda (gambar 13). Tiga lintasan horizontal dengan jumlah total elektroda yang digunakan sebanyak 36 buah dengan interval antar elektroda 10 meter (360 meter) untuk mencapai penetrasi kedalamanan hingga 72 meter (gambar 15, 16,17) dan satu lintasan vertikal/ memotong lereng dengan jumlah total elektroda yang digunakan sebanyak 24 buah dengan interval antar elektroda 10 meter (240 meter) untuk mencapai penetrasi kedalamanan hingga 48 meter (gambar 15). Titik acuan ketinggian diperoleh dari pengukuran (SOL) yang berada di titik 1 elektroda.
Data lapangan kemudian diproses hingga menghasilkan pemodelan inversi 2D, dengan pengaturan iterasi maksimal mencapai 4 dan RMS error 2.23 – 9,1%. Penafsiran bawah permukaan hasil pemodelan tahanan jenis 2D dan 3D.
Hasil analisis geolistrik 3D dengan metode Wenner Schlumberger pada empat lintasan, memperlihatkan batuan homogen yang lunak dengan nilai resistivity 3,5 – 168 Ωm hingga kedalaman hingga 50 meter. Nilai ini menunjukkan karakter batuan kompak dengan kandungan air yang tinggi dan bersifat konduktif. Pada line 1-3 memperlihatkan adanya variasi bidang gelincir pada kedalaman lk 7-9 dan 15-20 meter. Terlihat jelas pula pada line 1 adanya zona infiltrasi air pada titik 9-11 dan titik 24. Kenampakan 3D pada tiga line juga memperlihatkan variasi material jenuh air yang tertahan pada tiap dinding penahan tanah dan terlihat jelas pada line 1 dan 2. Pada line 2, indikasi terlihat bahwa kejenuhan air pada breksi tertahan oleh dinding penahan. Kenampakan potensi bidang gelincir dalam diinterpretasi pada kedalaman 25-40 meter dengan melihat adanya perbedaan resistivity pada material, dan mengecil/semakin dangkal pada pada line 3.
5. Faktor penyebab gerakan tanah:
Secara umum, faktor penyebab gerakan tanah di Tol Cisumdawu Km 177 sebagai berikut:
6. Mekanisme Terjadinya Gerakan Tanah:
Longsoran ini terjadi akibat kombinasi kondisi geologi, peningkatan tekanan air pori, dan pengaruh geometri lereng. Proses diawali oleh pelapukan batuan dan infiltrasi air yang menyebabkan terbentuknya zona lemah pada breksi yang terkekarkan menyebabkan kekuatan geser rendah serta memperlemah ikatan antar butir. Ketika intensitas infiltrasi air tinggi, terjadi peningkatan tekanan air pori dan penurunan gaya geser efektif berkurang. Dalam kondisi tersebut, lereng mulai mengalami deformasi dalam secara perlahan (creep), Seiring waktu, bidang gelincir berkembang menjadi zona aktif, dan ketika keseimbangan gaya benar-benar terganggu, terjadi pergerakan massa mengikuti bidang gelincir yang diperkirakan dalam dan melengkung, sehingga menyebabkan kerusakan signifikan pada struktur yang ada di lereng atas dan tengah maupun di kaki lereng (badan jalan tol).
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan, kejadian gerakan tanah di Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sukasirna, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sebagai berikut:
8. Rekomendasi Teknis
Sebagai langkah mitigasi pegerakan tanah agar tidak meluas dan berkembang, perlu dilakukan sebagai berikut:
Laporan ini bisa diunduh di www.vsi.esdm.go.id. Demikian laporan singkat ini kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya.
Gambar 1. Peta lokasi gerakan tanah Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 2. Peta Elevasi/Ketinggian lokasi gerakan tanah Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat
Gambar 3. Peta Geologi Desa Sirnamulya dan sekitarnya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 4. Peta Pola Pengaliran Desa Sirnamulya dan sekitarnya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 5. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Desa Sirnamulya dan sekitarnya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 6. Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya Gerakan Tanah Pada Bulan Mei 2025 Desa Sirnamulya dan sekitarnya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Tabel 1. Wilayah Potensi Terjadinya Gerakan Tanah di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat Pada Bulan Mei 2025
Provinsi | Kabupaten/Kota | Kecamatan | Potensi Gerakan Tanah |
Jawa Barat
| Sumedang
| Buahdua | Menengah-Tinggi |
Cibugel | Menengah-Tinggi | ||
Cimalaka | Menengah-Tinggi | ||
Cimanggung | Menengah-Tinggi | ||
Cisarua | Menengah-Tinggi | ||
Cisitu | Menengah-Tinggi | ||
Conggeang | Menengah-Tinggi | ||
Darmaraja | Menengah-Tinggi | ||
Ganeas | Menengah-Tinggi | ||
Jatinunggal | Menengah-Tinggi | ||
Pamulihan | Menengah-Tinggi | ||
Paseh | Menengah-Tinggi | ||
Rancakalong | Menengah-Tinggi | ||
Situraja | Menengah-Tinggi | ||
Sukasari | Menengah-Tinggi | ||
Sumedang Selatan | Menengah-Tinggi | ||
Sumedang Utara | Menengah-Tinggi | ||
Surian | Menengah-Tinggi | ||
Tanjungkerta | Menengah-Tinggi | ||
Tanjungsari | Menengah-Tinggi | ||
Tomo | Menengah-Tinggi | ||
Ujungjaya | Menengah-Tinggi | ||
Wado | Menengah-Tinggi |
Keterangan:
Menengah | Daerah yang mempunyai potensi menengah untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. |
Tinggi | Daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif kembali. |
Gambar 7. Peta Situasi gerakan tanah Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 8. Sketsa Penampang A – B gerakan tanah Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 9. Sketsa Penampang A – B gerakan tanah Tol Cisumdawu Km 177, Desa Sirnamulya, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 10. Citra satelit google earth dari tahun 2011 – 2016 memperlihatkan perubahan tataguna lahan di lokasi gerakan tanah.
Gambar 11. Citra satelit google earth dari tahun 2017 – 2022 memperlihatkan perubahan tataguna lahan dan morfologi akibat pemotongan lereng juga adanya indikasi gerakan tanah berupa retakan di tahun 2021.
Gambar 12. Citra satelit google earth dari tahun 2023 – 2024 terlihat retakan sudah membentuk tapal kuda dan dilakukan penambahan penguatan lereng. Hasil orthophoto drone Badan Geologi terlihat jelas dinding penahan lereng pad bagian atas mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya tekanan/gaya dari atas.
Gambar 13. Peta lintasan pengambilan data geolistrik.
Gambar 14. Hasil interpretasi data resistivity
Gambar 15. Hasil interpretasi data resistivity lintasan 1
Gambar 16. Hasil interpretasi data resistivity lintasan 2
Gambar 17. Hasil interpretasi data resistivity lintasan 3
Gambar 18. Hasil interpretasi data resistivity lintasan 4
Lampiran Foto
Foto 1. Lokasi gerakan tanah di Tol Cisumdawu Km 177 tampak dari atas, terlihat arah gerakan tanah ke ruas jalan Tol Cisumdawu dan morfologi lokasi gerakan tanah berada di kemiringan lereng terjal - sangat terjal.
Foto 2. Amblesan pada mahkota longsor bagian sayap bagian selatan (kiri) yang mengalami penurunan setinggi 135 cm dan pada bagian utara (kanan) yang mengalami penurunan setinggi 165 cm.
Foto 3. Retakan – retakan yang berkembang di area terdampak/tubuh longsoran memiliki pola yang berarah relatif Utara – Selatan.
Foto 4. Singkapan lanau lempungan yang merupakan tanah residu/pelapukan dari batuan asal breksi.
Foto 5. Breksi hasil endapan piroklastik aliran dengan tingkat pelapukan tinggi - sangat tinggi (kiri) dan terlihat adanya proses alterasi sekitar > 75% telah berubah menjadi karakter tanah dan masih menunjukkan sisa batuan asalnya (kanan).
Foto 6. Singkapan breksi hasil endapan piroklastik aliran dengan tingkat pelapukan rendah (kiri) yang ditemukan di sungai bagian selatan lokasi gerakan tanah dan breksi dengan tingkat pelapukan sedang yang memiliki sifat mudah rapuh dan tererosi pada masa dasarnya ketika terganggu oleh faktor iklim (kanan).
Foto 7. Dinding penahan tebing (DPT) yang mengalami kerusakan berupa retakan (kiri) dan pile yang patah akibat dorongan yang cukup besar dari atas (kanan).
Foto 8. Kondisi Jalan Tol Cisumdawu Km 177 yang mengalami kerusakan akibat retakan yang berkembang menjadi amblesan setinggi 50 cm pada bagian selatan dan 30 cm pada bagian utara.
Foto 9. Pada bagian kaki longsoran/toe terlihat mengalami lendutan/bulging terlihat pada infrastruktur pembatas jalan (road barrier) mengalami kerusakan (atas dan kanan bawah). Penahan lereng jenis pasak tanah/soil nailing mengalami kerusakan dan bulging akibat tekanan dari atas (kiri bawah).
Foto 10. Pengambilan data bawah permukaan dengan menggunakan metode resistivity (tahanan jenis) untuk mengetahui karakter batuan dibawah permukaan.
Foto 11. Tim Badan Geologi pada saat melakukan peneyelidikan dengan menggunakan alat TLS (Terrestrial Laser Scaner) untuk mengetahui perubahan morfologi akibat pergerakan tanah yang terjadi.
Foto 12. Tim Badan Geologi, Kementerian ESDM pada saat melakukan koordinasi dilokasi gerakan tanah dengan petugas dari Kepolisian, BPBD Kabupaten Sumedang dan PT. CKJT sebagai operator Tol Cisumdawu.