An African Prince in Search of Coal in Ujung Kulon and Ciletuh, 1855

Kwasi Boakye, also known as Kwasi Boachi (1827–1904), was a prince of the Ashanti Empire, now is called Ghana, West Africa. Remarkably, he served in the Dutch East Indies Mining Service and was one of the earliest mining engineers dispatched from the Netherlands to Java. According to P.A.C. de Ruiter (Het Mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850–1950, 2016: 17, 123), Boachi was the fifth mining engineer sent, following Cornelis de Groot van Embden, S. Schreuder, F.E.H. Liebert, and O.F.U.J. Huguenin.

During his service on the island of Java, Boachi conducted investigations into the coal potential of Ujung Kulon Bay (known as Meeuwenbaai) and Ciletuh Bay (Zandbaai) in 1855. His findings were documented in two reports: “Onderzoek naar de kolen, gevonden langs het strand der Meeuwenbaai, Residentie Bantam” and “Onderzoek naar het aanwezen van steenkolen in het terrein aan de Tjilaloekbaai (Preanger Regentschappen).” Both reports were published in the Natuurkundig Tijdschrift van Nederlandsch-Indië, in volume IX (1855) and volume XI (1856), respectively.

In his first report, written in Bogor on February 3, 1855, the African prince examined the coastal area of Meeuwenbaai, Banten. He identified that the local rock formations belonged to the Tertiary period and were rich in fossilized wood and plant matter. However, they did not support the presence of substantial coal seams. Boachi found seven minor coal layers near rivers such as Tjitemoe, Tjigentong, Tjibajor, and Tjinebong. These layers were thin (ranging from 0.10 to 0.75 Nederlandse el) and generally of poor quality—classified as lignite (a soft brown coal) with a sulfurous odor when burned.

The best coal samples came from Tjibajor and Tjigentong Besar, as it was hard, contained low pyrite, and suitable for fueling steam engines. Although the deposits were not sufficient to justify immediate exploitation, Boachi recommended further investigation through drilling or trial mining, citing the area's coastal access and favorable Tertiary geology.

In his second report, completed in Bogor on October 2, 1855, Boachi stated that on May 20, 1855, he had been assigned by the Governor-General of the Dutch East Indies to explore the coal potential of Tjiletoeh Bay (referred to by seafarers as Zandbaai), following a recommendation by Dr. Franz Wilhelm Junghuhn. The bay, located in Djampangkoelon District, Afdeling Tjiandjoer, had been considered a viable cargo port by the Naval Department since 1837.

The study area comprised an alluvial plain approximately 15 palen (1 pal = 1.5 kilometer) wide, surrounded by mountains as Goenoeng Tjimarinjoeng, Tjikanteh, and Tjipetir. Vegetation was sparse, mainly dominated by reeds, rattan, and brushwood. The Ciletuh River, the main waterway, was navigable by large boats for up to five palen inland, although the water remained brackish far upstream. Geologically, the area was enclosed by quartz sandstone, volcanic rocks, dolerite, and serpentinite. The sandstone was light yellow, brittle, and devoid of marine fossils, consistent with Junghuhn’s findings on the presence of coal layers in non-marine Tertiary quartz and clay formations. Boachi found no surface coal but nonetheless recommended further drilling based on the region’s geological potential and favorable logistical conditions.

Kwasi Boachi’s legacy and his investigations into coal resources in western Java highlight the transnational foundations of geological exploration in Indonesia. His work illustrates how early resource mapping in the Dutch East Indies was shaped by the global expansion of European geological science and the formation of colonial institutions like the Dutch East Indies Mining Service, which deployed the first generation of mining engineers to the Dutch East Indies. (ATEP KURNIA)

 

 

Pangeran Afrika Mencari Batubara di Ujung Kulon dan Ciletuh Tahun 1855

 

Kwasi Boakye atau Kwasi Boachi (1827-1904) adalah seorang pangeran dari Kekaisaran Ashanti, di tempat yang sekarang menjadi negara Ghana, Afrika Barat. Istimewanya, dia pernah bekerja di Jawatan Pertambangan Hindia Belanda, bahkan menjadi salah seorang insinyur yang awal dikirimkan dari Belanda ke Jawa. Menurut P.A.C. de Ruiter’s (Het Mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850-1950, 2016: 17, 123), Boachi berada pada urutan kelima setelah insinyur Cornelis de Groot van Embden, S. Schreuder, F.E.H. Liebert, dan O.F.U.J. Huguenin.

 

Selama berdinas di Pulau Jawa, Boachi pernah menyelidiki kemungkinan adanya batubara di Teluk Ujung Kulon (Meeuwenbaai) dan Teluk Ciletuh (Zandbaai) pada tahun 1855. Hasil penyelidikannya dituangkan ke dalam dua tulisan yaitu “Onderzoek naar de kolen, gevonden langs het strand der Meeuwenbaai, Residentie Bantam” dan “Onderzoek naar het aanwezen van steenkolen in het terrein aan de Tjilaloekbaai (Preanger Regentschappen)”. Keduanya dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrift van Nederlands-Indië edisi IX (1855) dan edisi XI (1856).

 

Dalam tulisan pertamanya yang ditulis di Bogor pada 3 Februari 1855, pangeran dari Afrika itu menyelidiki keberadaan batubara di wilayah pesisir Meeuwenbaai, Banten, dan menemukan bahwa formasi batuan di daerah tersebut termasuk kelompok Tersier, kaya akan fosil kayu dan sisa tumbuhan, tetapi tidak menunjang keberadaan formasi batubara yang besar. Ia menemukan tujuh lapisan batubara kecil di sekitar sungai-sungai seperti Tjitemoe, Tjigentong, Tjibajor, dan Tjinebong. Ketebalan lapisan umumnya rendah (0,10–0,75 Nederlandse el), dengan kualitas batubara sebagian besar rendah—jenis lignit (batubara muda) dengan bau belerang saat terbakar.

 

Batubara terbaik ditemukan di Tjibajor dan Tjigentong Besar karena keras, sedikit mengandung pirit, dan cocok untuk bahan bakar mesin uap. Meskipun kualitas dan jumlah batubaranya tidak menjanjikan eksploitasi langsung, Boachi menilai bahwa lokasi yang strategis dekat pantai dan potensi geologi wilayah Tersier membuat penyelidikan lanjutan di Meeuwenbaai melalui pengeboran atau tambang percobaan dinilai sangat penting.

 

Kemudian dalam tulisan kedua yang selesai disusunnya di Bogor pada 2 Oktober 1855, Boachi menyampaikan bahwa pada 20 Mei 1855 dia ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan penyelidikan batubara di Teluk Tjiletoek (dikenal pelaut sebagai Zandbaai) berdasarkan rekomendasi Dr. F. Junghuhn. Teluk ini berada di Distrik Djampangkoelon, Afdeling Tjiandjoer, dan dinilai cocok sebagai pelabuhan barang oleh Departemen Angkatan Laut sejak 1837.

 

Wilayah penyelidikannya berupa dataran alluvial seluas 15 pal (1 paal = 1.5 kilometer) yang dikelilingi pegunungan seperti Goenoeng Tjimarinjoeng, Tjikanteh, Tjipetirman, dan lain-lain. Vegetasinya jarang, hanya didominasi alang-alang, rotan, dan semak. Sungai utama yaitu Sungai Ciletuh dapat dilayari perahu besar sejauh 5 pal, meskipun airnya masih payau hingga jauh ke hulu. Secara geologi, dataran ini dikelilingi oleh formasi batupasir kuarsa, batuan eruptif, dolerit, dan serpentinit. Batupasir yang ditemukan berwarna kuning muda dan rapuh, tanpa fosil laut. Hal ini sesuai dengan temuan Junghuhn mengenai kemungkinan keberadaan lapisan batubara pada formasi Tersier kuarsa dan lempung tanpa fosil laut. Dengan demikian, Boachi menyimpulkan bahwa dia tidak menemukan batubara di permukaan. Meski demikian, ia tetap merekomendasikan pengeboran lanjutan, dengan dasar pertimbangan berupa kondisi geologi yang potensial dan akses logistik yang baik.

 

Rekam jejak Kwasi Boachi berikut hasil-hasil penyelidikannya mengenai potensi batubara di sebelah barat Pulau Jawa memperlihatkan bahwa cikal bakal eksplorasi sumber daya geologi di Indonesia dilakukan melalui interaksi antarbangsa dan perkembangan ilmu pengetahuan geologi di Eropa yang mendorong terbentuknya Jawatan Pertambangan Hindia Belanda dan pengiriman insinyur-insinyur pertambangan pertama ke Hindia Belanda. (ATEP KURNIA)



Keterangan foto: 


Lukisan dan dua tulisan Kwasi Boachi. Sumber: museumprinsenhofdelft.nl dan biodiversitylibrary.org


Ikuti Berita Kami