Based on information
obtained from old newspapers, we can trace in detail A.F. Lasut’s educational
history at AMS-B Jakarta. According to Bataviaasch Nieuwsblad dated May
30, 1936, Arie Lasut, along with Roekmin Adiwinata, Hasan Natanegara, Thio Han
Liong, Tan Keen San, Moh. Abdoellah, Bena Sitepoe, Sentot Alibasah, Arifin
Soeria, Tan Koen Liong, Lim Tjong Hian, and F. J. Jansen, advanced from the
second to the third grade. Later, Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indië dated June 1, 1937, reported that Arie Lasut graduated
together with Arifin Soeria, Moh. Abdoellah, Bena Sitepoe, Hadelier, Kadri, F.
J. Jansen, Kwee Mo Lim, Lie Eng Tjiong, Mohamad Sani, and Moechtar.
After completing his studies at AMS-B, Lasut returned
to his hometown of Tondano to rest after years of strenuous of education in Java and to spend time with his
family. For several weeks, he spent his
days hiking in the mountains with relatives, breathing in the fresh air, and
enjoying the peaceful atmosphere of his hometown. Yet, even during this period
of rest, Arie Lasut continued to contemplate his future.
As written in Arie Frederik Lasut (1981: 26–27), Mardanas Safwan explained that during his stay in Tondano, Arie Lasut observed that the level of education in the region was still underdeveloped. Only a small number of children attended school, and opportunities for higher education were very limited. Witnessing this reality, A.F. Lasut sought to instill the spirit of learning among his family and the surrounding community. He often advised his siblings never to give up on pursuing education.
Bagian depan kantor Departement van economische zaken di Weltevreden, Batavia. Sumber: TM-10015223 (collectie.wereldmuseum.nl).
After several weeks
in Tondano, Arie Lasut’s determination to continue his studies reignited. He
returned to Jakarta with high hopes of enrolling in the Medical College. The
field of medicine fascinated him, as he saw it as an opportunity to dedicate
himself to helping others. However, the tuition fees at the institution were
prohibitively expensive. The financial support sent by his parents was
insufficient to cover both living expenses and educational costs in Jakarta.
Confronted with this harsh reality, his dream of becoming a doctor was cut
short.
A.F. Lasut was
forced to withdraw from medical school. This period marked one of the most
difficult times in his life. He lived in uncertainty in Jakarta, haunted by
disappointment over the collapse of a long-cherished ambition. Nevertheless,
behind this frustration, his determination to persevere never waned.
In 1938, Arie Lasut
finally secured employment at the Departement van Economische Zaken
(Department of Economic Affairs) in Jakarta. The job provided him with a stable
income to meet his daily needs. Even so, he felt far from fulfilled. For Lasut,
work was not merely a means of earning a living but also a pathway to realizing
his ideals and serving others. Hence, while working, he continued seeking
opportunities to further his education. He tried to obtain scholarships, either
from the church or from the Departement van Onderwijs en Eredienst
(Department of Education and Religious Affairs).
Lasut’s desire to learn never faded. His experience at the Department of Economic Affairs gave him valuable insights into colonial administration and economic policies, yet his heart remained tied to the field of education. Arie Lasut firmly believed that a nation’s progress was determined not only by its natural wealth or political positions but by the level of knowledge and awareness of its people. (Atep Kurnia, Public Relations, PSDMBP, Geological Agency)
Jejak Pendek di Departement van Economische Zaken
Berdasarkan informasi dari surat kabar-surat kabar lama, kita dapat mengetahui
secara persis riwayat pendidikan A.F. Lasut di AMS-B Jakarta. Dari Bataviaasch Nieuwsblad edisi 30 Mei 1936
diketahui bahwa Arie Lasut bersama antara lain Roekmin Adiwinata, Hasan
Natanegara, Thio Han Liong, Tan Keen San, Moh. Abdoellah, Bena Sitepoe, Sentot
Alibasah, Arifin Soeria, Tan Koen Liong, Lim Tjong Hian, F. J. Jansen, naik
dari kelas II ke kelas III. Kemudian dalam Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 1 Juni 1937 diberitakan Arie
Lasut dinyatakan lulus bersama Arifin Soeria, Moh. Abdoellah, Bena Sitepoe,
Hadelier, Kadri, F. J. Jansen, Kwee Mo Lim, Lie Eng Tjiong, Mohamad Sani, dan
Moechtar.
Setelah tamat dari AMS-B di Jakarta, A.F. Lasut memutuskan kembali ke
kampung halamannya di Tondano. Kepulangannya merupakan masa untuk beristirahat
setelah menempuh pendidikan melelahkan di Jawa, sekaligus agar dapat
bercengkrama bersama keluarga. Selama beberapa minggu ia gunakan waktunya untuk
berpiknik ke gunung bersama saudara-saudara dan kerabat, menghirup udara segar
dan merasakan kembali suasana kampung halaman yang tenang. Namun, di sela waktu
istirahat itu, Arie Lasut terus memikirkan masa depannya.
Sebagaimana yang ditulis di dalam buku Arie
Frederik Lasut (1981: 26-27), Mardanas Safwan menjelaskan bahwa selama istirahat
di Tondano, Arie Lasut melihat bahwa pendidikan di daerah Tondano pada masa itu
belum banyak berkembang. Jumlah anak yang bersekolah masih sedikit, dan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi sangat terbatas. Melihat
kenyataan tersebut, A.F. Lasut berusaha menanamkan semangat belajar kepada
keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Ia kerap menasihati saudara-saudaranya
agar tidak berhenti menempuh pendidikan.
Setelah beberapa minggu di Tondano, semangat Arie Lasut untuk melanjutkan pendidikannya kembali berkobar. Ia berangkat ke Jakarta dengan harapan besar untuk meneruskan pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran. Dunia kedokteran menarik minatnya karena di sana ia melihat peluang besar untuk berbakti kepada sesama. Namun, biaya kuliah di sekolah tersebut ternyata terlalu tinggi. Kiriman uang dari orang tuanya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan di Jakarta. Dengan kenyataan pahit tersebut, impiannya menjadi dokter kandas di tengah jalan.
A.F. Lasut terpaksa keluar dari sekolah kedokteran. Masa-masa itu menjadi
salah satu periode paling sulit dalam hidupnya. Ia sempat hidup tidak menentu
di Jakarta, seraya dihantui rasa kecewa karena gagal mencapai cita-cita yang
telah lama diidamkan. Namun, di balik kekecewaan itu, semangatnya untuk tetap
berjuang tidak pernah padam.
Pada tahun 1938, Arie Lasut akhirnya memperoleh pekerjaan di Departement van Economische Zaken
(Departemen Urusan Ekonomi) di Jakarta. Pekerjaan ini memberikan penghasilan
yang cukup untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Walau begitu, ia
merasa belum sepenuhnya puas. Bagi Lasut, bekerja bukan sekadar mencari nafkah,
tetapi juga sarana untuk mencapai cita-cita dan pengabdian. Karena itu, sambil
bekerja, ia tetap berusaha mencari kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Ia berupaya
mendapatkan beasiswa, baik dari gereja maupun dari Departement van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pengajaran dan
Agama).
Keinginan Lasut untuk terus belajar tidak pernah surut. Bekerja di Departemen Ekonomi memberinya pengalaman baru tentang administrasi dan kebijakan ekonomi kolonial, tetapi hatinya tetap terpaut pada dunia pendidikan. Arie Lasut menyadari bahwa kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekayaan alam atau kedudukan jabatan, melainkan oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakatnya. (Atep Kurnia, Humas PSDMBP, Badan Geologi)