Mata air panas yang
digunakan sebagai tempat mandi merupakan salah satu bentuk pemanfaatan langsung
dari panas bumi. Di Jawa Barat, salah satu mata air panas yang termasuk sangat
lama dikenal sebagai tempat mandi adalah di Cipanas, Kecamatan Tarogong Kaler,
Kabupaten Garut.
Keberadaan mata air panas di Cipanas Garut sudah
dilaporkan sejak lama. Salah seorang yang paling awal melaporkannya adalah
Auguste Antoine Joseph Payen (1792-1853), pelukis Belgia, naturalis, dan guru
melukis Raden Saleh (1811-1880), yang pernah berdinas di Pulau Jawa, bahkan
tinggal di Bandung, antara tahun 1818 hingga 1826.
Payen yang kelahiran Brussels, Belgia, itu secara resmi diangkat menjadi pelukis resmi Kerajaan Belanda pada 19 Mei 1816 dan tiba di Batavia pada 7 September 1817. Tugasnya antara lain menemani lawatan ilmiah C.G.C. Reinwardt (1773-1854) dan mengabadikan perlawatan tersebut dalam bentuk gambar-gambar.
Ia
menyebutkan keberadaan mata air panas di Tarogong Kaler itu dalam catatan
perjalanannya ke Gunung Guntur pada tahun 1818 (“Voyage Vers le Gunung Guntur en 1818”). Catatan perjalanan itu
disunting oleh Marie-Odette Scalliet dan dibukukan dalam Antoine Payen: Peintre des Indes orientales: vie et écrits d'un artiste
du XIXe siècle (1995).
Laporan mengenai Cipanas ditulisnya pada 28 Oktober 1818 dalam rangkaian perjalanan Cicalengka, Kampung Baros, Leles, Tarogong, dan pada 4 November 1818 dalam rangkaian perjalanan antara Tarogong, Cipanas, Garut (Scalliet, 1995: 269 dan 272). Pada 28 Oktober 1818, setelah tiba di Tarogong, Payen menyatakan, “Sore hari, kami berjalan-jalan ke kaki gunung. Dataran ini memperlihatkan beberapa danau kecil; salah satunya, Tjipanasse [Cipanas], yang dilalui oleh sungai dengan nama yang sama, yang sumbernya sangat panas di gunung. Suhu airnya masih terasa hangat dekat Tarogong. Seluruh daerah ini, kecuali gundukan-gundukan yang saya sebutkan, sangat berlumpur. Di mana-mana, tampak batu-batu yang dilemparkan oleh gunung” (Scalliet, 1995: 269).
Kemudian
pada 4 November 1818, Payen menyatakan telah menyelesaikan gambar gunung dan
mencatat bahwa Kampung Situ Girang terletak di bawah puncak gunung api
[Guntur]. Katanya, dalam gambarnya, posisi Kampung Situ Girang terlalu ke kanan.
Ia juga menyatakan telah menggambar dari titik yang sama deretan Gunung
Papandayan dengan kawah tempat pengambilan belerang. Konon, kawah itu
mengeluarkan asap yang banyak dapat terlihat dari jarak cukup jauh.
Selanjutnya Payen menulis, “Kami kemudian pergi melihat
mata air panas di Tjipanasse
[Cipanas]. Jalan menuju ke sana memiliki beberapa titik pemandangan yang indah.
Suhu air mata air ini yaitu 106 derajat Fahrenheit (sekitar 41,1 derajat
Celcius). Di atas mata air ada sebuah batu besar sangat mencolok, yang
ditumbuhi sebuah pohon dan bersatu erat dengan batu itu” (Scalliet, 1995: 272).
Dari catatan perjalanan Payen di atas dapat diisyaratkan
bahwa keberadaan Cipanas Garut sebagai lokasi pemanfaatan langsung panas bumi
telah dikenal sejak awal abad ke-19. Dengan mencatat suhu air Cipanas serta
menggambarkan kondisi geograf dan keindahan alam sekitar Gunung Guntur, Payen
mendokumentasikan potensi panas bumi di situ, sekaligus memperlihatkan bahwa
Cipanas sudah menjadi bagian dari interaksi manusia dengan sumber daya panas
bumi, baik dalam konteks ilmiah, rekreasi, maupun budaya. (Atep Kurnia)
*Foto Pemandian Cipanas di Tarogong sekitar tahun 1895. Sumber: P. Heyting dalam Eigen Haard: Geillustreerd Volkstijdschrift (1895)