Ekskavator Tenggelam di Situ Ciburuy, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Sebuah insiden tak biasa terjadi di kawasan Situ Ciburuy, Kabupaten Bandung Barat, 28 September 2025, ketika satu unit ekskavator yang tengah melakukan pengerukan lumpur untuk kegiatan normalisasi mendadak tenggelam perlahan ke dasar danau. Meskipun sejumlah warga sempat mengaitkannya dengan cerita mistis, kejadian tersebut sepenuhnya bisa dijelaskan secara ilmiah.


Menurut tinjauan geologi teknik Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi Kementerian ESDM, peristiwa itu bukan disebabkan oleh fenomena “pasir hisap” (quicksand), melainkan oleh karakteristik tanah dasar Situ Ciburuy yang sangat lunak. Pasir hisap sendiri terbentuk dari campuran pasir jenuh air yang kehilangan gaya gesek akibat tekanan air atau getaran. Sedangkan material dasar Situ Ciburuy berupa lumpur halus dan lempung jenuh air dengan plastisitas tinggi, bukan pasir. Karena itu, tidak ada gaya “menghisap” dari bawah, tetapi kegagalan tanah menopang beban berat di atasnya yang membuat ekskavator perlahan tenggelam oleh pengaruh gravitasi.

Situ Ciburuy berada di cekungan alami antara kaki Gunung Burangrang dan Perbukitan Kapur Padalarang. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), wilayah ini tersusun atas hasil gunung api tua berupa breksi, endapan lahar, dan lava dengan ketebalan mencapai 150 meter. Sementara menurut Peta Geologi Teknik Daerah Bandung Utara (Muhammad Wafid A.N. dkk., 2005), tanah di sekitar danau tersusun atas breksi, pasir tufaan berlapis, serta tanah pelapukan berupa lanau pasiran dan lempung lanauan dengan plastisitas sedang hingga tinggi.

Lapisan dasar danau sendiri didominasi endapan danau (lacustrine deposits) berupa lumpur dan lempung jenuh air yang kaya bahan organik hasil dekomposisi vegetasi. Lapisan ini memiliki ketebalan antara 3 hingga 10 meter, tergantung lokasi. Warna sedimen yang keabu-abuan hingga kehitaman menandakan tingginya kandungan organik dan kondisi anaerob di dasar danau.

Dari analisis geoteknik, tanah di dasar Situ Ciburuy memiliki nilai Standard Penetration Test (SPT) hanya 0–2 blow—menunjukkan tingkat kekerasan yang sangat rendah. Nilai kuat geser tak terdrainasi (cu) hanya berkisar 5–15 kPa, dengan porositas di atas 60%. Kondisi ini berarti tanah nyaris tidak memiliki kekuatan untuk menahan beban berat seperti ekskavator. Ketika alat berat ditempatkan di atasnya, lapisan tanah lunak mengalami kegagalan geser dan penurunan cepat.

Selain itu, perubahan kadar air dan tekanan pori turut memperburuk kondisi. Pengeringan sebagian area situ menjadikan permukaan lumpur tampak padat, padahal bagian bawah masih jenuh air. Ketika tekanan air pori berubah, kekuatan geser tanah menurun drastis. Dalam situasi seperti ini, beban berat dengan distribusi kecil seperti roda rantai ekskavator mempercepat proses penurunan hingga alat tersebut tertelan lumpur.

Dari hasil kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tenggelamnya ekskavator di Situ Ciburuy murni akibat daya dukung tanah yang sangat rendah dan perubahan tekanan air pori, sebuah fenomena alamiah dari perilaku tanah lempung organik lunak di kawasan danau.

Badan Geologi merekomendasikan agar pekerjaan serupa ke depan dilakukan dengan perencanaan matang. Diperlukan survei geoteknik untuk menentukan ketebalan dan kekuatan lapisan tanah lunak serta posisi lapisan keras di bawahnya. Alat berat sebaiknya tidak ditempatkan langsung di atas sedimen jenuh tanpa pelat distribusi tekanan. Selain itu, pengamatan terhadap penurunan (settlement) harus dilakukan secara rutin, disertai rencana evakuasi jika terjadi penurunan mendadak.

Kejadian di Situ Ciburuy menjadi pengingat penting bahwa kegiatan pengerukan di wilayah perairan dengan sedimen lunak memerlukan pendekatan teknik yang tepat. Pemahaman terhadap kondisi geologi setempat bukan hanya mencegah kerugian material, tetapi juga menjamin keselamatan pekerja dan keberlanjutan ekosistem danau

Ikuti Berita Kami