"Bandung
di lingkung ku gunung," begitu ungkapan orang Sunda sebagai pujian terhadap keindahan Cekungan
Bandung yang berarti "Bandung dikelilingi gunung."
Bentang
alam Bandung memperlihatkan cekungan berbentuk lonjong (elips) memanjang
berarah timur tenggara-barat barat laut, dimulai dari daerah Nagreg di sebelah
timur hingga Padalarang di sebelah barat dengan jarak horizontal lebih kurang
60 km. Sementara itu, jarak utara – selatan mempunyai lebar sekitar 40 km,
menjadikannya salah satu lanskap paling khas di Nusantara.
Namun,
keelokan Bandung bukan hanya pada panorama. Di balik itu, tersimpan kisah
panjang tentang geologi, segi geologi, geomorfologi, dan geoarkeologi, yang
menjadi bekal bagi peradaban manusia yang tumbuh di atasnya.
Gunung-gunung
api yang menjulang di sekitar Bandung bukan hanya hiasan latar foto. Dari
perutnya, energi panas bumi terus mengalir. Di kawasan selatan, lapangan panas
bumi Kamojang, Darajat, dan Wayang-Windu telah lama beroperasi.
Kamojang
menghasilkan sekitar 150 megawatt listrik, Darajat 140 megawatt, dan
Wayang-Windu 110 megawatt. Masing-masing bisa bertahan beroperasi setidaknya 30
tahun. Energi ini menjadi bukti bahwa Bandung bukan hanya kota pendidikan dan
kreativitas, tetapi juga kota energi terbarukan yang menopang jutaan kehidupan.
Air adalah anugerah lain dari lingkaran
gunung. Dari perbukitan, air hujan meresap menjadi cadangan akuifer atau
mengalir ke permukaan membentuk situ dan sungai. Sungai Citarum, misalnya,
menjadi nadi utama. Airnya ditata dengan bendungan Saguling untuk mengairi
sawah sekaligus menghasilkan listrik dari PLTA.
Tak hanya itu, di hulu sungai banyak air terjun dan aliran yang mengalir sepanjang tahun. Potensinya untuk mikrohidro besar, meski belum dimanfaatkan optimal. Air di Bandung bukan sekadar kebutuhan dasar, tapi juga sumber energi yang ramah lingkungan.
Kisah
Danau Purba
Namun,
cerita paling menakjubkan datang dari masa lalu: Danau Bandung Purba. Sekitar 135 ribu tahun lalu, letusan dahsyat Gunung Sunda menutup
aliran Citarum. Akibatnya,
air terjebak dan membentuk danau raksasa sepanjang 60 km dan selebar 40 km.
Air danau
terus naik, mencapai puncaknya sekitar 35 ribu tahun lalu, dengan permukaan
setinggi 712 meter di atas laut. Bayangkan: wilayah yang kini ramai dengan
gedung, jalan, dan pasar dulunya adalah permukaan danau luas.
Danau itu
akhirnya surut ketika lava penutup jebol di Rajamandala. Bekas danau pun
menjadi daratan baru yang subur. Inilah tanah yang kemudian dihuni manusia,
ditanami sawah, hingga akhirnya berkembang menjadi kota.
Geolog
Belanda, Van Bemmelen, bahkan memetakan Bandung sebagai “panggung geologi
raksasa” tempat gunung, danau, patahan, dan manusia bertemu. Fakta ini
mengingatkan kita bahwa Bandung bukan sekadar kota, melainkan warisan geologi
dunia yang hidup.
Ketika
danau kering, ruang baru terbuka. Permukiman tumbuh, jalan dan pasar muncul,
lalu kota perlahan terbentuk. Kini Bandung menjelma menjadi metropolitan: pusat
pendidikan, budaya, hingga gaya hidup urban.
Tapi di
balik gemerlap modernitasnya, kota ini tetap menyimpan jejak geologi. Gedung
Sate, Museum Geologi, hingga bangunan bergaya Art Deco adalah contoh arsitektur
kolonial yang lahir dari pemahaman geologi lingkungan.
Tanah bekas danau lunak dan jenuh air, sehingga insinyur Belanda menanam pondasi kayu jati dan ulin, diperkuat batu kali, serta memberi kolong untuk menjaga kelembapan. Berkat kepiawaian itu, bangunan tetap kokoh berdiri lebih dari seratus tahun. Arsitektur Bandung bukan hanya indah, tapi juga simbol sains, seni, dan adaptasi tropis.
Keanekaragaman Geowisata Bandung
Geowisata adalah perjalanan menelusuri
jejak bumi, bukan sekadar menikmati pemandangan. Ia mengajak wisatawan memahami
proses terbentuknya lanskap, membaca lapisan tanah, hingga merenungi kisah
gunung api dan danau purba.
Di
Bandung, tema geowisata bisa sangat beragam:
•
Tema
Pegunungan Vulkanik
•
Tema
Pantai/ Pesisir Danau Purba,
•
Tema
Geologi Struktur,
•
Tema
Batuan Dasar dan Endapan Danau,
•
Tema
Kontak Endapan Danau dan Vulkanik,
•
Tema
Oxbow, Jejak Tua Sungai Citarum Hulu,
•
Tema
Jejak Situ dan Rawa,
•
Tema Karst
Rajamandala,
•
Tema
Geourban,
•
Tema
Geoarkeologi Danau Purba, atau
•
Tema
Toponomi kaitannya dengan Kebumian.
Saat ini geowisata Bandung masih terfokus
pada gunung, kawah, dan air terjun. Padahal, lapisan endapan danau, kipas
aluvial, hingga inti sedimen menyimpan kisah luar biasa yang jarang diangkat.
Ada harta karun geologi yang menunggu untuk diceritakan.
Wisata bukan hanya soal indah, tapi juga
soal aman. Di sinilah
geologi lingkungan berperan. Ia mengajarkan kita membaca potensi sekaligus
risiko: tanah lunak yang rawan ambles, sungai yang bisa meluap, atau kawasan
karst yang rentan longsor.
Dengan pendekatan ini, geowisata bukan hanya menyenangkan, tapi juga mendidik. Wisatawan pulang bukan hanya membawa foto, tetapi juga pengetahuan baru tentang bumi dan bagaimana menjaganya.
Warisan untuk Generasi Mendatang
Cekungan Bandung adalah laboratorium alam
terbuka. Ia lahir dari letusan gunung, dibentuk danau purba, lalu dihuni
manusia. Dari situ tumbuh budaya, kota, hingga identitas.
Geowisata memberi peluang untuk menjadikan
Bandung bukan hanya destinasi wisata, tapi juga ruang belajar bersama. Tiket masuk, jasa pemandu, UMKM,
dan penginapan memang menggerakkan ekonomi. Namun nilai utamanya ada pada
warisan: warisan alam, warisan budaya, dan warisan ilmu yang bisa kita titipkan
pada generasi mendatang.
Pada
akhirnya, Bandung adalah kisah panjang yang ditulis bumi. Setiap gunung,
sungai, dan jalan kota adalah bab dalam buku geologi raksasa. Tugas kita
hanyalah merawat dan menceritakan ulang, agar pesonanya tetap hidup.
Oleh: Oki Oktariadi – Penyelidik Bumi Ahli Utama PATGTL Badan Geologi, disampaikan dalam kegiatan SUMUR, 11 September 2025