Jika manusia modern mempunyai pisau dapur dan berbagai alat canggih untuk berburu dan memasak, pernahkah sahabat membayangkan bagaimana manusia 700.000 tahun lalu melakukannya? Nah, kali ini kita akan belajar bagaimana manusia zaman dahulu membuat alat-alat untuk berburu dan memotong makanan agar lebih mudah dikonsumsi.
Museum Geologi berinisiatif mengadakan kegiatan menarik untuk mengajak para mahasiswa magang “kembali ke masa lalu” agar semakin memahami bagaimana teknologi manusia purba berkembang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan ini berupa “Knapping Simulation”, yang dilaksanakan pada 23 Juli 2025 di Pojok Kolaborasi Museum Geologi, Bandung. Kelas ini dipandu oleh Sheila Ayu Rachmadiena, S.Ark. dari Tim Penyelidikan dan Konservasi Koleksi Museum Geologi (Gambar 1).
Kegiatan dimulai dengan pembekalan materi berjudul Pengenalan Alat Batu, yang berisi penjelasan tentang fungsi alat batu, bahan bakunya, serta teknik pembuatannya. Setelah sesi materi, peserta langsung mengikuti praktik membuat alat batu menggunakan batuan obsidian dan rijang. Proses ini dilakukan di bawah pengawasan ahli dan menggunakan perlengkapan keselamatan untuk mencegah cedera.
Pembuatan alat ini disebut knapping, yaitu proses membentuk alat dari batu dengan cara memukul hingga menghasilkan serpihan-serpihan tajam dan terarah. Meskipun bentuknya sederhana, alat batu merupakan bentuk teknologi canggih versi manusia purba. Bayangkan saja, dengan modal batuan seperti rijang, obsidian, dan mineral kalsedon, manusia zaman dulu bisa membuat alat untuk memotong daging, menumbuk biji-bijian, bahkan menguliti hewan buruan.
Namun, tidak semua batu bisa digunakan sebagai alat potong. Manusia purba cukup selektif dan hanya memilih batuan yang mengandung silika tinggi, karena sifatnya keras, dan meskipun hanya sedikit bagian yang dipukul sudah bisa menghasilkan sisi tajam yang dapat langsung digunakan. Itulah mengapa rijang dan obsidian menjadi bahan utama dalam budaya alat batu, atau budaya litik.
Menariknya, dari pecahan-pecahan alat batu ini, peserta bisa belajar banyak hal. Misalnya, apakah ada bekas pukulan (bulbus)? Ke mana arah serpihannya? Apakah ada pengasahan ulang (retus) di tepiannya? Semua aspek tersebut bisa membantu peneliti memperkirakan aktivitas yang dilakukan, lingkungan hidup saat itu, bahkan keterampilan teknis si “pengrajin” alat batu prasejarah.
Alat batu yang paling umum ditemukan di Indonesia terbuat dari rijang (flintstone), yaitu batuan berkomposisi silikat kriptokristalin dengan permukaan halus. Rijang dikenal juga sebagai batu api, karena bisa memercikkan api jika digesekkan dengan batu lain. Rijang dapat berwarna cokelat, merah tua, biru, hingga hitam, tergantung mineral pengotor yang terkandung di dalamnya selama proses diagenesis. Rijang banyak digunakan dalam budaya prasejarah karena ketersediannya yang cukup banyak dan mudah diproses meskipun hanya dengan teknik pemukulan sederhana.
Selain rijang, ada juga obsidian, yang tak kalah populer dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan alat batu oleh manusia purba. Obsidian memiliki kilau seperti kaca dan sangat tajam bila dibelah dengan tepat. Batuan ini banyak ditemukan di daerah vulkanik, salah satunya di kawasan Cekungan Bandung (Bandung Basin), dan di sanalah banyak ditemukan artefak obsidian serta gerabah (Gambar 2).
Gambar 1. Demonstrasi cara membuat alat serpih dan praktek pembuatan alat serpih
Sheila, selaku pemateri, menjelaskan bahwa temuan artefak alat batu dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu alat dan limbah (pecahan sisa pembuatan). Menariknya, baik alat maupun limbahnya sama-sama termasuk kategori artefak yang memiliki nilai penting dalam mengungkap aktivitas manusia masa lalu.
Dalam praktik knapping, serpih sering dianggap sebagai limbah (debitage) dari proses pembuatan alat inti besar seperti kapak genggam atau perimbas. Namun, serpih itu sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai alat yang sangat praktis, terutama untuk kegiatan seperti memotong daging, meraut kayu, atau menguliti hewan.
Penelitian di Flores, khususnya di situs Liang Bua dan Mata Menge, menunjukkan bahwa serpih dan inti besar merupakan bagian dari satu rantai reduksi. Inti besar dipecah secara bertahap, dan serpihan-serpihannya kemudian disimpan serta digunakan sebagai alat serpih.
Gambar 2. Koleksi Serpih obsidian Museum Geologi yang berasal dari Cekungan Bandung
Contoh nyata lainnya dari pemanfaatan alat batu dapat dilihat di situs Sungai Baksoka, Pacitan. Di lokasi ini ditemukan berbagai jenis artefak seperti kapak perimbas, kapak genggam, dan juga serpih. Menariknya, beberapa serpih tampak sengaja dibentuk lebih teliti agar memiliki sisi tajam yang sesuai dengan fungsinya. Situs lain seperti Ngandong juga memberikan bukti menarik, dimana artefak serpih ditemukan berdampingan dengan alat inti.
Temuan ini menunjukkan bahwa manusia purba di Jawa tidak hanya mengandalkan alat besar seperti kapak genggam, tetapi juga memanfaatkan serpihan-serpihan kecil yang lebih efisien untuk pekerjaan detail. Selain itu, temuan di Ngandong juga mengindikasikan adanya perubahan pola pikir dalam penggunaan teknologi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya alat-alat dari tulang, hasil dari proses pengasahan, yang menjadi bukti awal pemanfaatan tulang sebagai bahan dasar alat. Perkembangan ini mencerminkan kreativitas dan adaptasi manusia purba terhadap lingkungan serta kebutuhan hidup mereka yang semakin kompleks.
Dari kelas ini, sahabat museum dapat banyak belajar tentang bagaimana proses berpikir dari manusia purba dengan berbagai hal di lingkungannya, termasuk cara pemanfaatan bahan seadanya dengan tujuan-tujuan mereka memanfaatkan teknologi lebih lanjut. Hingga terus melakukan pembelajaran untuk mengasah keahliannya, sama seperti sahabat museum dalam belajar, harus tetap diasah supaya tetap tajam dan cerdas!
Kontributor:
1. Fadhil Priya Abdillah
2. Amelia Pertiwi
3. Regina Maulina Putri
4. Steffi Kova
5. Cantika Ratu Aulia