Pidato Kunci APCAMM, Kepala Badan Geologi Tekankan Kolaborasi Ilmiah Hadapi Krisis Iklim dan Urbanisasi

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Muhammad Wafid, menegaskan pentingnya kolaborasi ilmiah lintas negara dalam menghadapi tantangan krisis iklim dan urbanisasi yang semakin menekan kawasan pesisir. Hal ini disampaikan Kepala Badan Geologi mewakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat membuka Asia Pacific Coastal Aquifer Management Meeting (APCAMM) yang digelar bersamaan dengan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI) di Bandung, Selasa (5/8).

Kepala Badan menyampaikan bahwa pengelolaan akuifer pesisir di wilayah tropis tidak bisa lagi bergantung pada pendekatan konvensional, melainkan membutuhkan sinergi antara riset, kebijakan, dan aksi nyata di lapangan. “Hanya dengan kolaborasi berbasis ilmu pengetahuan, kita dapat memastikan sumber daya air pesisir tetap tangguh dan berkelanjutan di tengah tekanan perubahan iklim dan eksploitasi wilayah,” ujarnya di hadapan para pakar airtanah dan pemangku kepentingan Asia Pasifik.

Dengan tema “Resilient Coastal Aquifer Management in Tropical Regions: Adapting to Climate Change and Urbanization”, pertemuan ini menghadirkan para pakar terkemuka di bidang hidrogeologi pesisir, termasuk pendiri APCAMM Prof. Adrian Werner dan Prof. Jimmy Jiao, serta tokoh-tokoh airtanah Indonesia.

“Indonesia memiliki lebih dari 108.000 km garis pantai yang sangat kaya secara geologi namun menghadirkan tantangan kompleks. Kolaborasi lintas negara dan berbasis sains adalah jalan satu-satunya untuk memastikan akuifer pesisir tetap menjadi sumber air yang aman dan berkelanjutan,” tegas Kepala Badan Geologi.

Ia memaparkan berbagai inisiatif strategis yang telah dilakukan Indonesia, termasuk penerapan regulasi zonasi airtanah, pemasangan sumur pantau otomatis, pemantauan subsidensi berbasis GPS dan InSAR, serta intervensi di zona kritis seperti Jakarta, Semarang, dan Pekalongan. Hasil positif mulai terlihat, seperti di Cekungan Airtanah Jakarta (CAT Jakarta) di mana muka airtanah tertekan mulai menunjukkan tren pemulihan sejak 2018.

“Data terbaru menunjukkan bahwa laju penurunan tanah yang semula mencapai 15–20 cm per tahun kini melandai menjadi 0,05–5,17 cm per tahun. Ini adalah bukti nyata bahwa pengelolaan airtanah yang sistematis dan kolaboratif mampu memberikan dampak yang signifikan,” ujarnya dengan optimistis.

Selain upaya teknis, Kepala Badan Geologi juga menekankan pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir. “Praktik-praktik tradisional masyarakat pesisir adalah aset yang bila disinergikan dengan sains dan kebijakan modern, dapat menjadi solusi yang sangat efektif,” tambahnya.

Pertemuan ini diharapkan menjadi ajang berbagi pengalaman dari negara-negara Asia Pasifik yang telah sukses menghadapi kompleksitas pengelolaan akuifer pesisir. Pemerintah Indonesia juga tengah mendorong proyek-proyek strategis seperti Giant Sea Wall, yang dirancang untuk menjadi pusat kawasan terpadu berbasis ketahanan pesisir dan diharapkan mampu menarik investasi global.

“Kami percaya kekuatan satu akan menjadi kekuatan bersama jika pengetahuan dibagi secara terbuka. Air tidak mengenal batas negara, oleh karena itu solusi kita pun harus melampaui batas-batas itu,” pungkasnya.

Dengan semangat kolaborasi regional, Indonesia mengajak seluruh pihak untuk bekerja bersama, secara inklusif, ilmiah, dan berkelanjutan, demi menjaga keberlanjutan akuifer pesisir bagi generasi mendatang.

-Badan Geologi-

Ikuti Berita Kami