Kalau sekarang kita punya piring keramik dan cangkir lucu sebagai peralatan makan dan minum, pernahkah sahabat memikirkan bagaimana manusia pada zaman Neolitikum membuat wadah dari bahan alami seperti tanah liat? Nggak ada mesin ataupun listrik, dan mereka hanya mengandalkan tangan, air dan api. Jawabannya bisa ditemukan di Pottery Class, sebuah kegiatan edukatif yang diselenggarakan oleh Museum Geologi pada tanggal 30 Juli 2025 di Pojok Kolaborasi.
Kegiatan Pottery Class ini diikuti oleh para mahasiswa PKL dan CPNS di lingkup Museum Geologi (Gambar 1). Tidak hanya belajar cara membuat gerabah, tetapi pemaparan materi oleh Sheila Ayu Rachmadiena S.Ark. dengan judul “Pengenalan Gerabah” berhasil menambah wawasan kami sebagai peserta, tentang bahan baku tanah liat, teknik pembuatan, dan kenapa gerabah jadi salah satu jejak budaya paling penting dari masa prasejarah hingga kini.
Dibalik aktivitas sederhana membentuk tanah liat menjadi mangkuk atau vas, tersembunyi peninggalan ribuan tahun tentang pengetahuan, teknologi, bahkan identitas komunitas manusia. Gerabah dapat mencerminkan kebudayaan, nilai-nilai simbolik, dan perjalanan sejarah suatu masyarakat. Sejak zaman prasejarah, manusia telah memanfaatkan tanah liat untuk membuat wadah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyimpan air, memasak, hingga keperluan ritual. Bentuk, motif, dan teknik pembuatan gerabah di berbagai belahan dunia berkembang sesuai dengan lingkungan dan budaya lokalnya. Setiap goresan pada permukaan gerabah meninggalkan jejak ingatan kolektif masyarakat pembuatnya.
Gambar 1. Materi pengenalan gerabah
Gerabah merupakan karya seni yang dibuat dengan membentuk tanah liat, lalu membakarnya hingga mengeras. Sejak ribuan tahun silam, manusia sudah memiliki pengetahuan mengenai kegunaan tanah liat yang dapat dibentuk sesuai kebutuhan. Melalui proses pembakaran, mereka membentuk tanah liat menjadi wadah yang kuat dengan fungsi yang beragam. Para arkeolog mengemukakan bahwa pembuatan gerabah sebagai salah satu terobosan teknologi paling awal dalam sejarah manusia. Bahkan dari bentuk, hiasan, hingga teknik pembuatannya, gerabah mencerminkan adaptasi, kreativitas, dan identitas budaya pembuatnya.
Gerabah fungsional pertama kali muncul pada periode Neolitikum sekitar 10.000 SM di Jepang melalui Budaya Jomon yang dikenal dengan hiasan cord marked, serta di Anatolia sekitar 8500–8000 SM seiring dengan kehidupan menetap dan domestikasi tanaman. Dalam Budaya Anatolia, temuan gerabah sering ditemukan bersama dengan sisa-sisa arsitektur permanen dan alat pertanian, menandakan pergeseran besar dalam cara hidup manusia prasejarah. Pada periode ini, gerabah mencerminkan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat awal yang mulai hidup secara sedenter (menetap).
Setelah mendapat materi mengenai sejarah dan teknik dasar gerabah di sesi awal, kegiatan pun berlanjut ke bagian yang paling kami tunggu-tunggu, praktik membuat gerabah langsung dari tanah liat. Suasana pun berubah menjadi lebih santai, namun dipenuhi rasa penasaran. Sebagai mahasiswa yang biasanya belajar lewat buku dan layar laptop, kami merasa ini adalah momen langka, karena proses belajar terasa lebih nyata ketika dilakukan dengan tangan, bukan hanya dengan pikiran.
Setiap peserta diberi sebongkah tanah liat yang masih lembek, basah, dan jujur saja sedikit membuat ragu di awal: “Ini beneran bisa jadi sesuatu, ya?” Tapi justru dari bentuk yang tidak pasti itulah kami mulai belajar banyak hal. Dari membasahi tangan, memijat tanah liat, mencoba membentuknya sesuai imajinasi dan kreasi masing-masing, hingga merapikannya perlahan, membuat kami sadar bahwa proses ini bukan tentang hasil yang sempurna, melainkan tentang pengalaman yang jujur dan menyentuh langsung nilai-nilai dari masa lalu.
Gerabah hasil kreasi peserta pun bervariasi, ada yang membuat sarang lebah, mangkuk kecil, piring, hingga rusa. Setelah bentuk dasarnya jadi, kami menambahkan sentuhan akhir pada permukaan gerabah seperti memberi tekstur menggunakan kain bermotif jaring, atau benda-benda lain yang kami jumpai di sekitar (Gambar 2).
Pengalaman ini bukan hanya tentang belajar membuat gerabah, tetapi juga tentang belajar banyak hal lain. Secara tidak langsung, kami belajar untuk lebih sabar, karena ternyata dalam membentuk tanah liat tidak bisa terburu-buru. Kami juga belajar menghargai hasil buatan tangan. Sesuatu yang selama ini sering kami anggap biasa, ternyata punya proses yang panjang dan bermakna. Bahkan, kami belajar tentang sejarah bukan hanya dari buku dan internet, melainkan dari sensasi tangan yang menyentuh langsung jejak peradaban.
Salah satu hal yang paling berkesan adalah bagaimana kegiatan ini membuka mata kami tentang cara baru dalam memahami warisan budaya. Gerabah ternyata tidak hanya bisa dilihat sebagai barang kuno yang disimpan di lemari kaca museum, tetapi juga sebagai simbol kreativitas manusia, teknologi masa lalu, dan jati diri komunitas. Lewat kegiatan ini, kami bisa merasakan betapa cerdasnya manusia zaman dulu dalam memanfaatkan alam sekitar, serta bagaimana mereka berkomunikasi lewat bentuk dan motif yang diukir di gerabah.
Pottery class merupakan bentuk baru dari edukasi budaya, tidak menggurui, tidak menghakimi, tetapi membiarkan peserta membentuk, mencoba, bahkan gagal. Kami mungkin tidak akan membuat gerabah seumur hidup. Tapi di siang itu, kami tahu rasanya menciptakan sesuatu dari nol, seperti para leluhur. Dan itu cukup untuk mengingatkan kami bahwa budaya bukan milik masa lalu saja, melainkan sesuatu yang bisa dihidupkan kembali, kapan pun kami bersedia menyentuhnya.
Pottery class ini juga menjadi pengingat bahwa museum bukan sekadar tempat menyimpan koleksi dan cerita masa lalu, tetapi bisa menjadi ruang belajar aktif bagi generasi muda. Lewat kegiatan interaktif seperti ini, kami anak-anak magang, bisa ikut merasakan langsung makna dari koleksi yang ada. Mungkin, jika metode belajar seperti ini sering dilakukan, akan semakin banyak orang yang menganggap bahwa sejarah bukan sesuatu yang jauh, melainkan sesuatu yang bisa dipegang dan dirasakan langsung.
Kami pun pulang membawa cerita dan pemahaman baru, yang terekam baik dalam pengalaman. Dan itulah yang membuat pottery class ini menjadi salah satu momen paling berkesan selama masa magang di Museum Geologi ini.
Gambar 2. Suasana praktik membuat gerabah (kiri), dan dokumentasi bersama hasil gerabah (kanan).
Penulis: Fadhil Priya, Amelia Pertiwi, Regina Maulina, Steffi Kova, Cantika Ratu