Survei Belerang di Priangan Tahun 1866: Ketika Papandayan Jadi Harapan

Pada tahun 1866, dua ahli pertambangan Belanda, R. Everwijn dan Dr. C.L. van Vlaanderen, melakukan penyelidikan geologi untuk mengetahui potensi endapan belerang di kawasan Priangan, Jawa Barat. Survei ini berlangsung selama 29 hari, dari tanggal 23 April hingga 21 Mei 1866.

Menjelajahi Gunung-Gunung Api Priangan

Selama survei, mereka mengunjungi sejumlah gunung api aktif dan tidak aktif di wilayah Priangan, termasuk Gunung Tangkuban Parahu, Papandayan, Guntur, Talaga Bodas, hingga daerah Ciwidey. Setiap lokasi diperiksa dengan seksama untuk menilai kelayakan penambangan belerang.

Kawah Gunung Tangkuban Parahu. Sumber: KITLV 49458

Metode Penyelidikan
Dalam kegiatan tersebut, mereka menerapkan metode ilmiah yang cukup maju untuk zamannya:

  1. Mengukur suhu air panas dan gas
  2. Mengambil sampel belerang dan batuan
  3. Melakukan wawancara dengan penduduk lokal
  4. Membandingkan temuan lapangan dengan endapan belerang yang ditambang di Eropa seperti Italia, Spanyol, dan Austria


Endapan belereng di Kawah Putih, Priangan. Sumber: KITLV 25222

Hasil Temuan

Dari seluruh lokasi yang diteliti, hanya Gunung Papandayan yang menunjukkan potensi ekonomi yang cukup tinggi. Kandungan belerangnya sangat murni, dengan kadar mencapai lebih dari 90%. Sementara di gunung lain, kualitas dan kuantitas belerangnya dianggap tidak mencukupi untuk dikembangkan secara komersial.

Kawah Papandayan yang belerangnya dianggap paling potensial. Sumber: KITLV 1407123

Kesimpulan

Hasil survei menyimpulkan bahwa, meskipun secara geologi menarik, wilayah Priangan tidak layak untuk dikembangkan sebagai pusat penambangan belerang. Biaya operasional yang tinggi, aksesibilitas yang sulit, serta rendahnya permintaan lokal menjadi pertimbangan utama. Gunung Papandayan tetap menjadi satu-satunya lokasi yang dianggap memiliki nilai ekonomi, meskipun belum ditindaklanjuti secara industri.

Survei ini menjadi bukti awal pentingnya riset geologi sistematis dalam menilai potensi sumber daya alam secara komprehensif, bahkan sejak masa kolonial.


Sulfur Survey in Priangan, 1866: Papandayan's Untapped Promise

In 1866, two Dutch mining experts, R. Everwijn and Dr. C.L. van Vlaanderen, conducted a geological investigation to assess sulfur deposit potential in the Priangan region, West Java. The survey lasted for 29 days, from April 23 to May 21, 1866.

Exploring Volcanoes Across Priangan

Throughout the expedition, the team visited several volcanoes across the region, including Tangkuban Parahu, Papandayan, Guntur, Talaga Bodas, and Ciwidey. Each location was carefully examined for its commercial viability in sulfur mining.

Investigation Methods

Their methods were considered quite advanced for the time:

  1. Measuring temperatures of hot springs and fumaroles
  2. Collecting sulfur and rock samples
  3. Interviewing local inhabitants
  4. Comparing field data with sulfur deposits mined in Europe, such as in Italy, Spain, and Austria

Findings

Among all sites surveyed, only Mount Papandayan exhibited promising economic potential. The sulfur content reached above 90% purity—significantly higher than other sites. In contrast, other volcanoes lacked sufficient quality or quantity to support large-scale mining.

Conclusion

The final conclusion of the survey stated that no site in Priangan was economically feasible for sulfur mining at that time. High extraction costs, limited accessibility, and low local demand were key deterrents. While Papandayan showed potential, no immediate industrial follow-up occurred.

This historical survey serves as an early example of how scientific geological research guided resource management—even during the colonial era.


-BG-

Ikuti Berita Kami