One of the most frequently cited figures in
historical literature as the first initiator of geothermal exploration in
Indonesia—or the Dutch East Indies during the colonial era—is J.Z. van Dijck.
Remarkably, he was neither a scientist nor an engineer but a high school
teacher based in Bandung in 1918.
The Dutch geologist B.G. Escher offered a critical
response to Van Dijck’s optimistic views in the October 1920 issue of De
Mijningenieur. After evaluating the geothermal exploitation in Volterra,
Italy, and examining solfataras in Indonesia that might be worth
developing—such as those at Papandayan, Manuk Crater, and Kamojang
Crater—Escher concluded that Van Dijck’s enthusiasm was premature. He
emphasized that it required more scientific investigation by a volcanology institute in the process of being established.
Ir. N.J.M. Taverne, leader of the Vulkanologische
Dienst (Volcanological Service), later elaborated on this subject in a
lecture on the utilization of volcanic energy (“exploitatie van vulkanische
energie”) delivered on 1 September 1925 before the Nederlandsch-Indië der Afdeeling voor Mijnbouw (the Dutch East
Indies branch of the Mining Department). According to Taverne, Van Dijck had
earlier introduced this idea in the Koloniale Studiën, and shortly
afterward, B.G. Escher also discussed it in De Mijningenieur.
The name J.Z. van Dijck resurfaced in 1927 in
connection with Taverne’s geothermal initiatives. An article in De
Locomotief (14 July 1927) noted that the first person to propose the idea
of harnessing subterranean energy for industrial use in the Dutch East Indies
was J.Z. van Dijck. Deeply affected by the devastation of World War I, Van
Dijck argued in Koloniale Studiën that new energy resources need to be harnessed
to support industry. He cited the example of Volterra in Italy, where geothermal
energy was used not only to power electric lighting in Larderello and
surrounding areas but also to generate 15,000 horsepower of
electricity.
Who was J.Z. van Dijck? Archival records and historical
literature identify him as a drawing teacher at the Hoogere Burgerschool
(equivalent to a modern high school). Originally from ’s-Gravenhage (The
Hague), he began teaching in Brielle in late 1884. After transferring to
Haarlem in 1888, Van Dijck was appointed to be a teacher in the Dutch East
Indies in 1890. He taught at HBS Surabaya, later moving to schools in Batavia
and Semarang, before retiring in Bandung on May 4, 1919.
Van Dijck’s article on geothermal exploration,
titled “Krachtbronnen in Indië” (Energy Sources in the Indies), was
published in Koloniale Studiën, Tweede
Jaargang, Eerste Deel (1918: 482–497). Dated “Garoet, Febr. 1918”, the
article begins with the argument that a nation’s wealth is typically judged by
its production—particularly agricultural and mineral output in the case of the
Dutch East Indies.
Although the land and climate were favorable for production, Van Dijck noted that both natural and social obstacles—such as limited scientific knowledge and traditional mindsets—hindered progress. While he acknowledged the importance of education, he argued that it was insufficient on its own to rapidly transform the character of society. Therefore, he advocated for the development of energy resources, especially hydropower and geothermal energy, as the foundation for industry and economic development in the colony. Drawing inspiration from the successful geothermal operations in Larderello, Italy, Van Dijck envisioned similar potential for the Dutch East Indies. (ATEP KURNIA)
Pencetus Pertama
Eksplorasi Panas Bumi di Indonesia ternyata Guru SMA
Ada satu nama tokoh yang kerap
disebut-sebut sebagai pencetus pertama eksplorasi panas bumi di Indonesia atau
Hindia Belanda pada zaman kolonial dalam pustaka-pustaka lawas. Dialah J.Z. van
Dijck, guru SMA di Bandung, pada tahun 1918.
Ahli geologi B.G. Escher
dalam De Mijningenieur edisi Oktober
1920 menyikapi kritis terhadap pandangan optimistis Van Dijck. Setelah menelaah
eksploitasi di Volterra dan mengkaji solfatara di Indonesia yang layak untuk
digarap (yaitu di Papandajan, Kawah Manuk, dan Kawah Kamojang), Escher
menyatakan kesimpulan Van Dijck terlampau cepat dan bahwa persoalan ini harus
dipelajari secara serius oleh lembaga vulkanologi yang akan dibentuk.
Ir. N. J. M. Taverne,
pimpinan Vulkanologische Dienst (Jawatan Vulkanologi), dalam rapat tak Nederlandsch-Indië der Afdeeling voor
Mijnbouw (cabang “Hindia Belanda” dari Bagian Pertambangan), pada 1
September 1925 menyampaikan ceramah mengenai pemanfaatan energi vulkanik (“exploitatie van vulkanische energie”). Menurut
Taverne, Van Dijck pernah menyinggung topik ini dalam majalah Koloniale Studiën, dan tak lama kemudian
B. G. Escher menyoroti hal serupa dalam De
Mijningenieur.
Pada 1927, nama J.Z. van
Dijck kembali disebut dalam konteks Taverne yang memanfaatkan
sumber daya dari gunung api. Di dalam De
Locomotief (14 Juli 1927) disebutkan orang pertama yang mengemukakan
gagasan untuk memanfaatkan tenaga yang tersembunyi dari perut bumi Hindia
Belanda untuk kepentingan industri adalah J. Z. van Dijck. Van Dijck sangat
terkesan oleh kehancuran yang terjadi dalam Perang Dunia, sehingga menulis
dalam Koloniale Studiën bahwa sumber
energi harus dibuka demi kemajuan produksi, dengan contoh dari Volterra di
Italia. Pengelolaan ini tidak hanya memungkinkan penerangan listrik di
Lardarello dan tempat-tempat lain tetapi juga menyediakan tenaga listrik
sebesar 15.000 tenaga kuda.
Siapakah J.Z. van Dijck
sebenarnya? Dari berbagai pustaka lawas, kita tahu bahwa dia adalah seorang
guru gambar di Hoogere Burgerschool (setara
SMA). Ia yang tercatat berasal dari ’s-Gravenhage (Den Haag) awalnya merupakan
guru di Brielle pada akhir tahun 1884. Setelah sempat dipindahkan ke Haarlem
pada 1888, J.Z. van Dijck diangkat menjadi guru gambar di Hindia Belanda sejak
1890. Bermula dari HBS Surabaya, lalu ke Batavia, Semarang, hingga pensiun di
Bandung pada 4 Mei 1919.
Artikel J.Z. van Dijck
yang membicarakan mengenai eksplorasi panas bumi berjudul “Krachtbronnen in Indië” dimuat dalam majalah Koloniale Studiën, Tweede
Jaargang, Eerste Deel (1918: 482-497). Pada awal tulisan yang diberi
penanggalan “Garoet, Febr. 1918” itu,
van Dijck menyatakan untuk menentukan kekayaan suatu negara, biasanya yang
pertama kali diperhatikan adalah apa yang dihasilkan negara tersebut, dan untuk
Hindia Belanda terutama produksi pertanian dan mineralogi.
Meskipun tanah dan iklim mendukung produksi pertanian dan mineralogi, tetapi Van Dijck menyebutkan pula hambatan sosial dan lingkungan, seperti kurangnya pengetahuan dan pola pikir yang masih kolot. Van Dijck menyebutkan pentingnya pendidikan, tetapi jika hanya pendidikan saja, dianggap masih kurang cukup untuk dapat mengubah karakter masyarakat secara cepat. Oleh karena itu, menurutnya, sumber daya energi, terutama tenaga air dan panas bumi, menjadi kunci bagi pengembangan industri dan ekonomi di Hindia Belanda. Ia mencontohkan keberhasilan penggunaan panas bumi di Larderello, Italia, yang membuka peluang besar untuk pemanfaatan sumber energi panas bumi di Hindia Belanda. (ATEP KURNIA).
Keterangan foto: Tulisan J.Z. van Dijck
yang dimuat di dalam majalah De Koloniale
Studien Tweede Jaargang, Eerste Deel (1918: 482-497).